Pada perempat pertama abad XVII Madura
terbagi-terbagi menjadi kerajaan kecil-kecil tetapi berdaulat penuh. Ketika itu
cicit kanduruwan baru dinobatkan sebagai putra mahkota kerajaan Sumenep dengan
gelar pangeran cakranegara. Sukawati yang tua sudah menyerahkann kekuasaannya
kepada anaknya pangeran purabaya untuk memerintah kerajaan pamekasan. Di Madura
barat terjadi sedikit kericuhan penggantian raja. Sepeninggal pangeran tengah
maka yang menduduki tahta arosbaja adalah adiknya ( pangeran Mas ) dan bukan anaknya
yang bernama praseno. Adapun praseno hanya diberi kedudukan sebagai adipati
sampan. Beberapa anak Lemah Duwur yang lain ditunjuk menjadi adipati
pakacangan, Bliga dan Jamburangin kesemuanya tunduk pada Arosbaja.
Pertengkaran-pertengkaran diantara mereka selalu diselesaikan seacara
kekeluargaan mengingat mereka semuanya masih keturunan Lembu Petteng. Melalui
hubungan perkawinan para leluhurnya maka dalam tubuh raja sumenep pun mengalir
titisan darah tokoh tadi. Namun kemandirian dan kedaulatan kerajaan-kerajaan
kecil ini tidak dapat lestari. Perkembnagan politik di daerah lain kembali
mempengaruhi jalan sejarah Madura. Pada tahun 1613 kerajaan Mataram menabalkan
raja baru yang kemudian
terkenal dengan sebutan Sultan Agung. Raja ini
berhasrat menyatukan seluruh pulau jawa dan bahkan tempat-tempat lain di
nusantara. Selain itu ia bertekad pula mengusir kedaulatan asing yang mulai
bercokol. Di Batavia ( atau Betawi ) yang sebelumnya bernama Jayakarta. Untuk
mewujudkan impiannya itu secara bersistem ia lalu menaklukkan daerah demi
daerah.
Maka pada akhir Agustus 1624 seluruh daerah
Madura telah berhasil dikusaioleh tentara Mataram. Sebulan kemudian ratusan
pembesar Madura yang dikalahkan di medan laga digiring tumenggung wiraguna ke
Mataram seabagai tawanan perang. Kebanyakan dari mereka dihukum mati dengan
cara ditikam dengan keris. Akan tetapi Adipati Sampang yang menyerahkan diri
diberi jabatan sebagai penguasa seluruh Madura. Jabatan ini sebenarnya hanya
pangkat kehormatan belaka sebab ia harus berkedudukan di ibu kota mataram
sebagai sandra dalam sangkar emas. Untuk lebih memudahkan pengawasan terhadap
dirinya kemudian dikawinkan dengan salah seorang adik Sultan Agung.
Pemerintahan harian Madura yang berkedudukan di sampang diwakilkan kepada raden
santamerta. Wilayah Pamekasan dikelola oleh pangeran Magetsari anak pangeran
Jamburingin yang gugur dalam peperangan.
Untuk memerintah daerah
Sumenep Sultan Agung
menunjuk
Tumenggung Anggadipa yang sebelumnya adalah
panglima armada dari Jepara.
Cerita tutur setempat menunjukkan bahwa
tumenggung Anggadipa berhasil menjalankan
tugas kepemimpinannya di
Sumenep. Untuk lebih
memantapkan kedudukan dirinya ia mengikat tali perkawinan dengan salah
seorang keturunan lemah duwur.
Tumenggung Anggadipa ternyata dapat diterima
karena dapat menyatu dengan masyarakat Sumenep, mungkin karena ia berasal dari
jepara yang ketaatannya pada agama islam terkenal kuat. Ia memang terus
dikenang sebagai orang yang mendirikan Masjid jamik Sumenep pertama di kampung
kapanjin. Masjid yang sekarang ini dikenal
dengan nama Masegit Laju besar minat Anggadipa dalam memajukan dan
membina agama Islam di Sumenep.
Sultan Agung mengubah tarikh saka yang
berdasarkan peredaran matahri menjadi tahun jawa yang disesuaikan dengan bulan
seperti kalender Hijriyah yang dipakai umat Islam. Perubahan ini ditetapkan
pada tahun1633 semasa sumenep berada dibawah pemerintahan Anggadipa serta
segera mendapat dukungan masyarakat Madura. Rakyat Sumenep merasakan
keberuntungan oleh berbagai kebijakan bupatinya yang betul-betul menjadi orang
Madura itu. Karena fitnah Adipati Sampang pada tahun 1644 ia diganti olejh
Jayengpati, menantu orang yang menfitnahnya. Namun karena kecintaannya pada
bumi Sumenep Anggadipa memilih terus menetap dan bahkan menghabiskan hari
tuanya di sana. Sampai sekarang banyak keturunannya di wilayah itu.
DARTAR PUSTAKA
Bendara Akhamad, Lintasan Sejarah Sumenep dan
Asta Tinggi beserta Tokoh didalamya, Sumenep: Barokah, 2011.
H.J. Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta:
Grafitipress 1986.
Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura,
Surabaya: Yayasan Lebbur Legga 1993.
R. Werdisatra dan R. Sastra Widjaja, Bhabhad
Songennep, Balai Poestaka1921.
Reis Over Java, Madura and Bali, In Het Midden
yang ditulis pada tahun 1847 M
S.
Kartodirdjo, M.D Poesponegoro
dan N Notosusanto,
Sejarah Nasional Indonesia
II,Jakarta: Balai Pustaka 1977.