Daddaliyan, Ker-tanoker, Lir-Saalir, Jan-Anjin, Gai Bintang, Cung Kuncung
Kunce, Pa’ Kopa’ Eling, Ke’ Rangke’. Set-Seset Maloko’, Mon temon Buko, Ba-baba
Bulan, Di-Dindi’ Leya’Leyo’, Lar- Olar Kolarjang, Tan-Pangantanan, Dipadhi
Cemplo Lo’ling, Po’ kopo’ Ame-ame, lir Saalir, Kosoko Bibir, Aeng Lema’, Bing
Ana’. Dul Kannang-Dul Kennong.
Pada prinsipnya melalui lantuman dan
permainan, jiwa anak-anak ditanamkan pemahaman dan penanaman nilai filosofi
kehidupan yang bernafaskan nilai-nilai humanis. Penanaman nilai tersebut
disebabkan oleh kewajiban utama orang tua untuk memberikan pendidikan, bukan
hanya mengoptimalkan kecerdasan intelektual saja, melainkan mengembangkan
kecerdasan emosional serta mengasah kecerdasan spiritual kepada putra putrinya
sebagai bekal hidup bermasyarakat.
Berbagai disiplin ilmu ditanamkan agar
kelak anak mampu berdikari dan mandiri, baik secara material, emosional, dan
spiritual dalam tata pergaulan di masyarakat. Dengan demikian anak mampu
memilah dan memilih serta mengamalkan ilmu yang dimiliki, dan bisa menjadi
manusia yang paripurna. Untuk mencapai kesempurnaan hidup maka nilai-nilai
moralitas perlu ditanamkan sejak dini. Dan penanaman itu dilakukan melalui
permainan dan nyanyian diantaranya:
1. PA’ KOPA’ ELING
Pa’ kopa’ eling
elingnga sakoranji
eppa’na olle paparing
ana’ tambang tao ngaji
ngaji babana cabbi
ka’angka’na sarabi potthon
e cocco’ dhangdhang pote keba mole
e cocco’ dhangdhang celleng keba melleng
Terjemahan bebas :
Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjang
sang bapak mendapatkan anugerah
anak bodoh jadi (bisa) mengaji
mengaji di bawah cabai, suguhannya serabi gosong
di patuk elang putih di bawa pulang
di patuk elang hitam dibawa nakal
Terang bulan (purnama) merupakan waktu yang senantiasa ditunggu-tunggu,
karena pada saat terang bulan tersebut bulan hanya anak-anak yang bersuka cita,
tetapi juga orang tua. Biasanya pada saat terang bulan anak-anak berkumpul di
halaman rumah, dan kemudian berkelompok. Biasanya yang paling disukai oleh
anak-anak adalah menyanyikan lagu Pa’ Kopa’ Eling, secara bergantian mereka
menyanyikan lagu ini dan disertai pula dengan tepuk tangan.
Makna yang Tersirat dalam Bait-Bait Syair terdapat pada lantuman nada-nada
di atas sangatlah sederhana, namun apabila di kaji lebih mendalam maka
syair-syair tersebut mengandung makna yang demikian mendalam. Makna tersebut
berisi nasehat tentang manusia dan jiwa spiritual yang harus dimilikinya.
Sebagai Khalifah di muka bumi, manusia mempunyai tugas yang sangat mulia
yaitu menjadi pemimpin. Oleh sebab itu pemenuhan kebutuhan spiritual sama
pentingnya dengan kebutuhan material. Dengan demikian akan tercipta kehidupan
yang serasi, seimbang, dan harmonis. Dengan berbekal pengetahuan agama yang
kuat maka manusia tidak mudah tergoda dan terombang-ambing oleh perubahan serta
dinamika perubahan jaman.
Pemenuhan kebutuhan spiritual (agama) merupakan sesuatu yang sangat
signifikan. Oleh sebab itu sejak usia dini anak-anak diperkenalkan dengan
nilai-nilai agama, yaitu dengan jalan melaksanakan proses pembelajaran. Sejak
kecil anak-anak diwajibkan mengaji, shalat, puasa serta kewajiban-kewajiban
agama lainnya. Proses pembelajaran tersebut dilakukan secara bertahap, terus
menerus, dan berkesinambungan serta disesuaikan dengan usia kematangan dan
pertumhuhan anak. Sebagaimana terdapat pada kalimat, //ana’ tambang tao ngaj i,
ngaji babana cabbi//,(//anak bodoh jadi (bisa) mengaji, mengaji di bawah
cabai//)
Sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, masyarakat komunal menciptakan
suatu tatanan agar dalam menjalankan kebersamaan (kehidupan bersama) berjalan
secara harmonis. Dan tatanan tersebut, baik yang tertulis maupun tidak tertulis
secara berkesinambungan ditransferkan kepada generasi berikutnya melalui
pendidikan informal dalam keluarga, lingkungan masyarakat maupun pendidikan
formal di sekolah-sekolah. Hal itu termaktup dalam kalimat, “Pa’ kopa’ eling,
elingnga sakoranji” // Bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjang //. Kalimat tersebut
mengingatkan bahwa betapa pentingnya sebuah kesadaran untuk menuntut ilmu.
Untuk mendapatkan generasi yang ber-kualitas, orang tua mempunyai tanggung
jawab serta memegang peranan utama sebagai pendidik pertama sekaligus motivator
bag keberhasilan pendidikan putra putrinya. Sebagaimana tertera dalam kalimat,
eppa’na olle paparing, (bapak mendapatkan anugerah). Dan anugerah tersebut
merupakan kegembiraan, kebahagiaan, dan kebanggaan bagi bapak karena sang anak
telah mampu menyerap dan menguasai ilmu.
Adapun nilai etika dan moralitas yang tinggi dalam puisi di atas adalah,
hendaknya ilmu yang dimiliki tidak disalahgunakan d an benar-benar diamalkan
karena ilmu mempunyai dua sisi dimensi, yaitu kebaikan dan kejahatan. Ilmu akan
menjadi suatu bencana apabila dipergunakan oleh orang-orang yang mempunyai
moral rendah dan tidak bertanggung jawab, sebaliknya ilmu akan mendatangkan
manfaat serta kemaslahatan bagi umat manusia apabila berada di tangan-tangan
manusia yang mempunyai moralitas tinggi. Hal tersebut dapat disimak pada bait,
ecocco’ dhangdhang pote keba mole, ecocco’ dhangdhang celleng keba melleng
(dipatuk elang putih dibawa pulang, dipatuk elang hitam dibawa nakal).
2. CUNG-KUNCUNG KONCE
Cung kuncung kunce
Koncena lo-olowan
Sabanyong saketheng
Na’kana’ marking-markung
Baba’anna kapung-kapung
Ngek-serngeggan, rut-suruddan
Pangantan tao abajang
Pabajanggnga ketha’ keddung
Ondurragi jung baba’an
Cung-kuncung kolor
Kolorra bintang kangkong
Sater-oler sakomancer
Bibidanna tajin jaba
Lali lana lali lanthung
Ondurragi jung-baba’an
Cung acung lerengan
Kkembang ala’ kembang aling
Taruttut onta-onta
Pamakona kaju sentik
Ondur setthong jung baba’an
Cung acung lerengan, pettha tale lempung
Buwana apung-apung, ta’ ngok-serngogan
Ta’ ngek-serngegan, jumantre-jumantre
Nangga’a bajang
Bajangnga kethak kedhung
Ondurragi jung baba’an
Terjemahan bait bebas bait 1
Kuncung-kuncung kunci,
kuncinya beruas-ruas
sebuku seruas
anak-anak duduk-duduk
dibawah pohon kapuk
cekikikan cekakakan
sang pengantin ber-sembahyang
sembahyang asal gerak
Bentuk Permainannya
Permainan ini dimainkan oleh dua sampai empat anak, permainan ini dilakukan
dengan cara duduk berhadapan. Jempol tangan kiri ditegakkan dan keempat jari
yang lain dalam posisi menggemgam. Kemudian keempat jari tangan kanan menggemgam
jempol tangan kiri, dan jempol tangan kanan ditegakkan. Anak-anak yang lain
kemudian meletakkan tangannya di atas tangan anak yang pertama dengan posisi
yang sama, begitu seterusnya.
Setelah semua anak meletakkan tangannya dalam posisi tersebut, lalu mereka
menyanyikan lagu tersebut sambil menggoyang-goyangkan tangan, pada saat bait
terakhir dinyanyikan, ondurragi jung baba’an maka telapak tangan yang paling
bawah diposisikan tertelungkup. Kemudian anak-anak tersebut menyanyikan lagu
tersebut secara terus menerus sampai semua tangan tumpang tindih tertelungkup.
Setelah semua tangan tertelungkup, maka tangan yang paling atas memukul tangan
dibawahnya, dan begitu seterusnya. Atau juga dengan cara lain, setelah semua
tangan tertelungkup maka tangan yang paling atas mengambil tangan yang
dibawahnya kemudian diletakkan di atas kepala masing-masing anak.
Makna Umum dari Syair Cung-Kuncung Konce
Jenis permainan ini seringkali dikonotasikan dengan seksualitas, karena
melihat posisi tangan ketika sedang bermain. Posisi jempol kiri yang menggemgam
keempat jari lainnya, dan juga ketika genggaman digoyang-goyangkan, seakan-akan
sedang melakukan persetubuhan. Hal ini diperkuat oleh baris kedua dengan kata,
lo-olowan yang diterjemahkan, tertidur karena terlalu kepayahan. Tentu saja
kepayahan disini disebabkan sang pengantin telah selesai melaksanakan
kewajibannya.
Konon lagu ini dinyanyikan oleh anak-anak ketika sedang ada hajatan
perkawinan. Lagu ini dinyanyikan sebagai tanda sang pengantin telah memasuki
peraduan kamar pengantinnya.
Makna Khusus pada Syair Cung-Kuncung Konce
Walaupun secara umum masyarakat menilai bahwa lagu ini syarat dengan muatan
seksualitas, namun apabila dikaji lebih mendalam terdapat nilai-nilai filosofi
yang sangat mendalam sekaligus nilai-nilai kearifan, etika dan moralitas.
Nilai-nilai tersebut terutama terdapat pada bait pertama. Sedangkan bait kedua
dan seterusnya merupakan syair-syair tambahan untuk lebih memperpanjang
nyanyian tersebut.
Secara gamblang pada bait pertama dalam puisi lisan Cung Kuncung Kunce
memberikan gambaran utuh tentang perilaku yang semestinya dimiliki oleh
masyarakat. Sopan santun, etika serta tata krama menempati urutan teratas
sebagai perilaku yang patut dimiliki oleh setiap anggota masyarakat.
Penghormatan dan penghargaan yang tinggi akan diberikan kepada setiap
masyarakat dari berbagai kalangan, apabila mampu menunjukkan sifat, sikap serta
perilaku yang baik. Sebaliknya, walaupun menyandang status sosial tinggi serta
bermartabat tidak akan mendapatkan penghormatan dari anggota masyarakat lainnya
apabila menunjukkan perilaku yang cacat dan tercela.
Perilaku yang paling tercela adalah sikap yang ditunjukkan oleh seseorang
terhadap penganut agama yang sedang menjalankan ibadah. Gambaran ini dapat
dikutip dari kalimat, //Na’kana’ marking-markung /Baba’anna kapung-kapung /
Ngek-serngeggan, rut-suruddan//, (//anak-anak duduk-duduk / dibawah pohon kapuk
/ cekikikan cekakakan//). Kalimat dalam puisi tersebut adalah ungkapan yang
ditujukan kepada seseorang yang dengan sengaja tidak menghormati serta
menghargai seseorang yang sedang menjalankan ibadah. Melalui sindiran tersebut
diharapkan mampu merubah perilaku tercela menjadi perilaku yang terpuji.
Penanaman nilai-nilai etika maupun spiritual (agama) yang dilakukan sejak
dini, diharapkankan mampu membentuk kepribadian yang matang sampai dewasa.
Apalagi ketika telah memasuki usia matang perkawinan. Nilai-nilai kebaikan,
perilaku terpuji serta kematangan kepribadian yang dimiliki akan menjadi bekal
serta menjadi benteng kokoh ketika menghadapi problematika kehidupan. Salah
satu nilai yang paling penting adalah menjalankan kewajiban shalat lima waktu,
namun dalam realita yang ada banyak sekali manusia (umat muslim) melalaikan
kewajiban tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam kalimat, //Pangantan tao
abajang /Pabajanggnga ketha’ keddung//( sang pengantin ber-sembahyang /
sembahyang asal gerak).
Bangunan yang kokoh tentunya ditunjang oleh pondasi dan ting-tiang kokoh
serta kuat. Perumpamaan tersebut dapat dijadikan tolak ukur kehidupan beragama.
Seseorang yang mengaku dirinya beragama, tentunya akan menjalankan semua
ketentuan yang disyariatkan oleh agama yang dianutnya. Namun sering terjadi
manusia hanya menggunakan agama sebagai identitas diri agar diakui
keberadaannya oleh lingkungan masyarakatnya.
Maka filosofi mendalam dalam syair Cung Kuncung Kunce ini membidik sosok
manusia yang hanya menggunakan agama sebagai identitas dan simbol. Ibadah
shalat lima waktu sebagai tiang penyangga bangunan kokoh Islam, dijalankan
hanya sebatas ritual semata. Akibat dari sikap yang tidak konsisten terhadap
agamanya, maka perilaku yang dijalankan sama sekali jauh dari nilai-nilai yang
disyariatkan oleh agama.
Shalat lima waktu merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan.
Ibadah tersebut adalah ibadah pribadi yang langsung berhubungan dengan Sang
Khalid, yaitu totalitas kepasrahan pribadi seorang muslim serta implementasi
ibadah tersebut dalam kehidupan sosial nya di masyarakat. Keselarasan ibadah
vertikal dengan ibadah horizontal harus seimbang. Dengan demikian maka akan
terciptalah suatu kehidupan yang harmonis serta tatanan masyarakat yang tertib.
Secara tersirat, syair Cung Kuncung Kunce mengingatkan umat muslim untuk
menjalankan ibadah shalat dengan sebenar-benarnya. Karena nilai yang terkandung
dalam shalat dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Dengan melakukan
ritual shalat, manusia akan lebih dekat dengan Sang pencipta-Nya. Dengan
melaksanakan shalat secara baik dan benar akan menjadikannya seorang pribadi
yang matang, kuat dan kokoh. Oleh sebab itu melalui syair Cung Kuncung Kunce,
manusia diingatkan agar dalam menjalankan ibadah shalat bukan hanya sebatas
ritual semata, melainkan melaksanakannya dengan kesungguhan hati dan sepenuh
jiwa.
Melalui tulisannya, penyair mengingatkan agar manusia dalam menjalankan
ibadah shalat tidak melakukannya setengah-setengah. Dalam arti apabila shalat
hanya dilakukan sebatas ritual saja, maka akan mengakibatkan tidak adanya
keselarasan tingkah laku. Shalat yang bertujuan menyembah Sang Pencipta,
menjauhi semua larangan serta mematuhi semua perintah-Nya hanya dijadikan
simbol-simbol keagamaan. Hal itu menyebabkan walaupun manusia rajin beribadah,
namun masih mengerjakan perbuatan yang tercela, melanggar aturan, berjudi,
berzinah maupun mencuri.
3. RE-SERE PENANG
Re-sere penang
Penangnga penang jambe
Maju kaka’ maju ale’
Pa bagus tengkana, lako becce’
Kalellan e ka’dinto
Terjemahan bebas :
Sirih-sirih pinang
pinangnya pinang jambe
mari kakak mari adik
perbaiki tingkah laku
berperilaku mulia
diridhoi lewat disini
Usia dini merupakan masa yang paling rawan sekaligus masa yang paling
menentukan bagi pembentukan jiwa dan kepribadian. Menurut para pakar psikologi
usia tersebut merupakan penentu keberhasilan, karena pada masa itu jaringan
otak bekerja maksimal menyerap informasi dari luar serta menyimpannya dengan
rapi dalam memori otak. Oleh sebab itu penanaman nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat terutama yang berkaitan dengan adab sopan santun, budi pekerti,
etika, norma-norma serta tata krama diperkenalkan sejak usia dini. Penanaman
nilai-nilai tersebut ditransformasikan dengan memberikan contoh nyata serta
suri tauladan oleh generasi tua. Proses transformasi tersebut dilakukan secara
perlahan, bertahap, dan berkesinambungan serta dilandasi oleh perasaan kasih
sayang, sebagaimana terungkap dalam kalimat, “Re sere penang / Penangnga penang
jambe”( Sirih-sirih pinang / pinangnya pinang jambe) – (daun sirih dan pinang
merupakan simbol sejoli (tak terpisahkan) terutama untuk “mena” (Madura) atau
“nyusur” (Jawa).
Setelah anak menjelang dewasa dan diakui sebagai bagian anggota masyarakat,
maka interaksi sosial dilakukan sebagai upaya membaurkan diri dengan lingkungan
masyarakatnya. Di samping itu interaksi sosial dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam proses interaksi tersebut dapatlah dilihat
bagaimana kemampuan manusia menjalin hubungan yang baik, dikagumi, dihormati,
disukai serta menyenangkan. Tak salah kiranya puisi lisan Re Sere Penang
memberikan gambaran bahwa kemuliaan manusia hanya dapat dilihat dan dipancarkan
dari kepribadian dan budi pekerti luhur. Sebagaimana terungkap dalam kalimat,
bagus tengkana, lako becce’ (bagus tingkahnya / berperilaku mulia).
Proses panjang pembentukan akhlak mulia dan kebersihan jiwa mental
spiritual bagi kau muda merupakan tanggung jawab orang tua. Untuk menumbuhkan
kesadaran akan tanggung jawab mental dan moral, diperlukan keteladanan dari
lingkungan keluarga maupun masyarakatnya. Oleh sebab itu kontrol yang
dilaksanakan oleh orang tua, keluarga , dan lingkungan masyarakat sangatlah
penting. Kontrol sosial yang ketat merupakan ikatan tanggung jawab bersama,
tanpa melanggar hak azasi. Kontrol yang sangat ketat tersebut diharapkan akan
mampu mencetak pemuda-pemudi yang bertanggung jawab terhadap perilaku,
mempunyai akhlak yang mulia serta moralitas tinggi.
Dengan memiliki perilaku yang mulia, kaum muda akan menjadi insan-insan
yang bertanggung jawab, patuh, di sukai, di hormati, di hargai dan akan mampu
menciptakan lingkungan yang harmoni bagi masyarakatnya. Dengan memiliki
ketahanan mental serta moralitas yang kuat, maka akan terbentuklah sebuah
generasi yang tangguh. Sebagaimana termaktup dalam kalimat, “Kalellan e
ka’dinto”, (diridhoi lewat disini).
4. KER-TANOKER
Kertanoker, dimma bara’ dimma temor
Ker-soker, sapa nyapa kaadha’ lanjang omor
Ker-tanoker jambuna massa’ saseba’
Ker-tanoker lagguna nyapa kaadha’
Ker-tanoker jambuna massa’ sapennay
Ker-tanoker lagguna nyapa e songay
Ker-tanoker jambuna massa’ sacorong
Ker-tanoker lagguna nyapa e lorong
Ker-tanoker jambuna massa’ pagar
Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar
Terjemahan bebas :
Ker-tanoker dimana barat, dimana timur
ker-tanoker, siapa yang menyapa duluan akan panjang umur
Ker-tanoker ada jambu masak separuh
Bila tak bertegur sapa, besok menyapa duluan
Ker-tanoker ada jambu masak sekeranjang
Boleh bertengkar besok menyapa di sendang
Ker-tanoker ada jambu masak setakaran
Boleh bertengkar besok menyapa di jalan
Ker-tanoker ada jambu masak di pagar
Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
Ker-tanoker (kepompong) adalah makhluk hidup jelmaan ulat yang sedang
menjalankan proses metamorfosis. Ulat yang semula berbentuk bulat panjang,
lembek dan menjijikkan kemudian berubah bentuk menjadi kepompong yang dibalut
semacam serat, menempel dan bergelantungan di dahan, maupun di daun-daun. Pada
masa pertapaan dan menjadi Tanoker inilah anak-anak sering mengambilnya dan
menjadikannya sebagai alat bermain. Sebelum Tanoker mengeras, ujung kepala
sedikit lembek, dan apabila mendengar suara maka ujung yang berbentuk memanjang
ini akan bergerak-gerak, ke kanan, ke kiri maupun ke depan dan ke belakang.
Dan biasanya permainan ini dilakukan ketika anak-anak berselisih ataupun
bertengkar dan kemudian tidak saling bertegur sapa (bahasa Madura soker). Nah,
anak-anak yang tidak bertegur sapa tersebut sebenarnya ingin menyapa, tetapi
karena saling menjaga gengsi mereka bersikeras tidak menyapa. Tetapi ketika
salah satu anak sudah tidak tahan untuk menyapa karena tidak punya teman
bermain, maka anak tersebut mencari Ker-tanoker (kepompong).
Melihat anak yang satunya akan menyapa, yaitu dengan mencari Ker-tanoker,
maka ia pun berlari untuk mencari Ker-tanoker pula.
Masing-masing anak-anak itu sudah mempunyai seekor Tanoker, lalu kedua anak
tersebut nangkring di kayu pagar masing-masing rumah. Kemudian kedua anak
tersebut saling (sambit) melempar kalimat yang ada pada syair Ker-tanoker dan
saling menjawab pula. Nah; kedua anak yang saling tidak bertegur sapa tersebut
akhirnya saling menyapa dan saling memaafkan.
Permainan dan nyanyian Ker-tanoker bukan hanya dipakai sebagai media
membuka area diplomat di kalangan anak-anak. Tetapi pada musim Tanoker
digunakan pula sebagai media bermain, pada musim Tanoker inilah anak-anak
bergembira ria, bersenda gurau dan saling melemparkan kalimat dalam bentuk
pantun dan saling bersahutan menjawab pantun yang dilontarkan oleh kawan
sebayanya. Apabila ujung kepala itu bergerak-gerak, itu menandakan bahwa pantun
yang mereka sampaikan itu benar, dan harus pula di jawab oleh yang lainnya.
Permainan ini bis dimainkan oleh dua orang, bisa juga berkelompok. Semakin
banyak anak bergabung ikut bermain, maka semakin ramai dan mengasyikkan
permainan tersebut. Masing-masing anak akan mencari Tanoker untuk dijadikan
alat untuk bermain. Biasanya Tanoker yang menjadi incaran anak-anak adalah yang
besar, mereka mencarinya di pohon yang sering dijadikan tempat bertelur ulat,
misalnya pohon kedondong, jeruk, Ketapang, dan pohon pisang
Makna yang Terkandung dalam Bait-Bait
Ker-Tanoker
Kata Ker-tanoker merupakan diksi yang mendekati kata soker (tidak bertegur
sapa), dengan demikian terjadi keserasian pengucapan baik di awal kalimat
maupun akhir kalimat pada pantun yang diucapkan. Walaupun bahasa yang digunakan
sangat sederhana, namun mengandung makna tersirat mendalam. Makna mendalam yang
terdapat pada syair ini tentang esensi persaudaraan, persahabatan, dan
perdamaian. Hal ini disebabkan dalam interaksi sosial dalam kehidupan yang
komunal, setiap pribadi dan individu, masing-masing mempunyai kepribadian,
watak, dan karakter yang berbeda. Tentu saja dalam proses interaksi tersebut
akan terjadi benturan-benturan, baik pemikiran, persepsi, keinginan, maupun
kepentingan. Akibat dari ketidaksamaan tersebut maka akan terjadi perdebatan,
pertengkaran bahkan menjurus pada pertikaian fisik.
Untuk meredam berbagai bentuk benturan tersebut syair ini memberikan
rambu-rambu bagaimana harus berbuat, yaitu sebuah sikap mengalah. Mengalah
belum tentu kalah. Peribahasa mengatakan, ‘kalah jadi arang, menang jadi abu’.
Dengan memiliki sikap mengalah maka akan terbangun sebuah kerukunan, dan
dalam dimensi yang lebih luas akan terbangun perdamaian yang abadi. Karena
hakekat sesungguhnya dari setiap pertengkaran dan pertikaian adalah untuk
menguji kerukunan. Bila terjadi perselisihan, berarti kerukunan sedang di uji.
Mendahului berbuat baik, mendahului menyapa, mendahului membuka area diplomatik
menunjukkan kematangan emosional maupun spiritual yang tinggi. Dengan demikian
mendahului berbuat baik, yaitu dengan jalan menyapa maka akan mempererat tali
persahabatan dan persaudaraan, tali silaturrahim serta akan melanggengkan
perdamaian.
Sikap mengalah dan sifat pemaaf harus dimiliki oleh setiap individu, dan
itu perlu ditanamkan sejak dini. Oleh karenanya, syair Ker-tanoker memberikan
gambaran kongkrit bagaimana harus bersikap ketika menghadapi pertentangan
maupun pertikaian, yaitu dengan cara mengalah dan menyapa. Membuka area
diplomatik dapat dilakukan dimana saja, terutama tempat-tempat yang
memungkinkan orang bertemu dan berkumpul. Dimana orang melakukan aktivitas
keseharian dalam memenuhi kebutuhan hidup maupun saling ber-interaksi sebagai
makhluk sosial. Tempat-tempat tersebut, antara lain di jalan, di langgar, di
sendang, maupun di pasar. Sebagaimana yang termaktup pada isi syair, //Ker-tanoker
lagguna nyapa kaadha’ / Ker-tanoker lagguna nyapa e songay /Ker-tanoker lagguna
nyapa e lorong /Ker-tanoker lagguna nyapa e langgar // – (// Bila tak bertegur
sapa, besok menyapa duluan / Boleh bertengkar besok menyapa di sendang / Boleh
bertengkar besok menyapa di jalan / Boleh bertengkar besok menyapa di langgar
//).
Bait-bait sederhana yang terdapat pada syair Ker-tanoker mengajak setiap
pribadi untuk menunjukkan kematangan pribadi, baik kematangan psikis maupun
fisik. Dengan memiliki kematangan kepribadian, maka perbedaan pendapat,
perbedaan persepsi, perbedaan keinginan, karakter maupun watak bukan berarti
membuka lebar jalan pertentangan atau pertikaian, malah sebaliknya akan membuka
pintu kerukunan dan perdamaian. Sebagaimana dikatakan bahwa perbedaan itu
adalah suatu rahmat. Nilai etika dan moralitas tinggi inilah yang mesti
dijadikan bahan renungan panjang setiap pribadi untuk membangun masyarakat
komunal yang rukun, guyub dan ber-keadilan.
5. TAN-PANGANTANAN (TAN-MANTANAN)
Tradisi Tan Pangantanan merupakan sebuah permainan yang dilakukan oleh
anak-anak di kala senggang. Permainan yang sangat menyenangkan ini dilakukan
setelah panen tiba, setelah anak-anak selesai membantu panen di sawah.
Mereka biasanya berkumpul, dan secara spontan membentuk kelompok yang
terdiri dari kelompok utama (perempuan) dan kelompok besan (laki-laki). Kedua
kelompok tersebut kemudian berlomba untuk menghias pengantin jagoannya di
tempat yang berbeda. Adapun hiasan yang dipakai oleh sepasang pengantin
anak-anak tersebut sangat sederhana, terdiri dari kain panjang (samper palekat)
yang dililitkan ke tubuh masing-masing pengantin sebatas dada.
Sedangkan tata rias memakai lulur yang dibuat dari beras dan temmo (kunir
& kunyit putih). Lulur tersebut dibalurkan ke seluruh tubuh dan wajah
pengantin, sehingga tampak bagian tubuh yang diluluri berwarna kuning (koneng
ngamennyor). Sedangkan untuk mempercantik penampilan, maka di atas kepala di
pasang sebuah mahkota yang di buat dari rangkaian daun nangka, dan roncean
bunga melati. Aksesoris pengantin agar tampil menarik adalah rumbaian dari
roncean daun melati (to’oran dhaun malate) yang digantungkan di leher, serta
dilengkapi pula sumping daun kamboja, gelang kaki dan beberapa pelengkap bawaan
yang di bawa oleh pengiring.
Setelah siap, kedua belah pihak bersepakat mempertemukan kedua pengantin di
tempat yang telah ditentukan. Setelah kedua pengantin bertemu lengkap dengan
para pengiringnya, baru kedua belah pihak bersepakat untuk mengarak kedua
mempelai. Sepasang pengantin tersebut kemudian di arak keliling kampung,
berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya. Arak-arakan tersebut mampu
menyedot perhatian masyarakat yang dilewati, dan terkadang iringan pengantin
semakin panjang karena diikuti penonton lainnya, terutama anak-anak. Sambil
berjalan para pengiring melantumkan syair, Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
Nanganang nganang nong dhe’
Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur
La sayomla haeto lillah
Ya amrasol kalimas topa’
Haena haedhang haena dhangkong
Pangantanna din ba’aju din tamenggung
Ayola’ yole nengkong abli pole ngantol
Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon
Pangantan ka’imma pangantan
Mantan loji pamaso’a ka karaton
Bu’ saeng lema’, bu’ saeng lema’
Aeng tase’ bang kambangan
Dhu panarema, dhu panarema
Balanjana saare korang
Bidaddari le’ bidaddar kong
Nase’ obi le’ kowa lurking
Ban-gibannna le’ nase’ jagung
Pangerengga le’ pate’ buttong
Ya, hadirin tore so’onnagi
Paneka pangantan sopaja kengeng salamet
Ya salam, ya salam
Kitab suci dah lama-lamanya
Kini pengantin lah tiba lah tiba
Kepada kawan-kawanku semua
Mudah-mudahan berjumpa lagi
Tan-taretan sadajana e dalem somana
Di sana e ka’dinto Karangduwek nyamaepon
Nyara taretan abadi kacintaan abadi kanesseran
Olle tetep Islam ban Iman
Jam yuju jam delapan, ana’ serdadu mekol senapan (dar)
Yam berana’ etekla ayam pengantin baru sudah berjalan
Tette ajam bindhara, pangantan ka’ imma pangantan
Pangantanna din ba’aju din tamongkong
Jas Turki pakaian celana puti
Aan’ ayam berani mati, jas turki sudah mati
La bu’na mela, ajam pote
Cocco’ sengkang e soro pajikaran
Uraian Peristiwa dalam Bait-Bait, ‘Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang.’
Berdasarkan analisa yang terkandung dalam syair, dan berdasarkan perkiraan
sesepuh Sumenep, H. Saleh Muhammady, bait-bait ‘Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang’, bahwa
syair ini diciptakan sekitar tahun 1574 M, sebagaimana tertera dalam kalimat,
kalimas topa’, yaitu dari kata sa’ (1), lema’ (5), to’ (7) dan pa’ (4). Namun
tidak menutup kemungkinan angka tersebut belum menjamin kebenarannya, karena
analisa lain, kata, “kalimas topa’” memiliki makna lain pula.
Apabila ditelusuri, maka dapatlah di tarik sebuah rentetan sejarah awal
terbentuknya tradisi ini (tan-pangantanan) dapat diuraikan dalam kalimat,
“Koddu’ pace pacenan, langsep buko lon alon”. Kata koddu’, yang condong pada
jaman pemerintahan Pangeran Keddu (pangeran Wetan – 1574 M), yaitu pada jaman
Ratu Tirtonegoro (tumenggung Pacinan, anak tiri Ratu Tirtonegoro) sebagai di
sebut dalam kata, “bukong”, artinya kakak tua, yaitu perlambang burung yang
menjelaskan bahwa Tumenggung Pacinan adalah kakak Panembahan Sumolo (pendiri
masjid Jamik dan keraton Sumenep).
Rentetan Peristiwa Sejarah pada Syair Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang
Pengungkapan sejarah pangeran Wetan yang menghancurkan tentara Bali ketika
menyerang Sumenep. Sebagaimana di sebut dalam kalimat, “mon ta’ nondhe’ jaga
jaggur”, artinya kalau tidak tunduk maka akan dijatuhkan ke laut (jaggur,
sinonim suara benda jatuh ke air). Tentara Bali mengalami kekalahan, dan
kemudian sisa-sisa tentara Bali tersebut menyingkir ke daerah pinggiran. Daerah
pemukiman yang ditempati oleh sisa-sisa tentara Bali dan keturunannya tersebut
dinamakan Pinggir Papas. Sampai saat ini tradisi Bali (Hindu) masih dijadikan
acara ritual, yang dikenal dengan ritual ‘Nyadar’.
Tentang pemerintahan Pangeran Lor II dan Pangeran Wetan II, dan meramalkan
masuknya kolonial Belanda, sebagaimana disebut pada kalimat, ‘Haena haedhang
haena dhangkong’, maksudnya (sujud). Kalimat tersebut menjelaskan masuknya
sekularisme di Sumenep, yang tentunya isme yang dibawa oleh penjajah Belanda
tersebut akan berakibat terganggunya stabilitas pemerintahan, Tumenggung
Sumenep.
Pengungkapan masa pemerintahan Cakranegara I, ‘Pangantan loji pamaso’a ka
karaton’, (pengantin lojji dimasukkan ke keraton). Ini berkaitan dengan kisah,
ketika pangeran Cakranegara I dalam perjalanan ke Demak. Di tengah perjalanan,
tepatnya di daerah Sampang pangeran Cakranegara dirampok sehingga beliau tidak
bisa kembali ke Sumenep. Akibat peristiwa tersebut maka terungkaplah kalimat,
‘pangantan, ka’imma pangantan, artinya pengantin kemana pengantin (pangeran)?
Kalimat, ‘aeng tase’ bangkambangan’ (air laut mengambang). Makna pada
kalimat tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Mas Anggadipa yang
berasal dari seberang. Pada masa itu rakyat tidak menyenangi pemimpin yang
bukan berasal dari istana Sumenep, akibat rasa ketidaksenangan tersebut maka
muncullah pemberontakan. Namun pemberontakan rakyat tersebut dapat ditaklukkan
oleh Raden Mas Anggadipa. Peristiwa tersebut memunculkan sebuah kalimat, ‘duh
panarema, duh panarema’, yang berarti terimalah semua itu dengan besar hati dan
lapang dada.
Pencerminan kisah yang terjadi pada masa pemerintahan Jayeng Pati. Pada
masa itu terjadi krisis ekonomi dan mampu mengganggu stabilitas. Krisis yang
terjadi tersebut disebabkan oleh ulah Jayeng Pati sendiri karena Jayeng Pati
merubah peraturan dan adat istiadat. Di samping itu Jayeng Pati merupakan otak
peristiwa perampokan terhadap Cakranegara I. Pada masa pemerintahan Jayeng
Pati, mengalami krisis ekonomi dan menyebabkan kehidupan rakyat mengalami
masa-masa pahit, dan itu menyebabkan rakyat hanya mampu makan, ‘nase’ obi kowa
lorkong’, artinya makan ubi dan sayur lorkong (jenis tanaman makanan ular).
Pada masa inilah tumbuh subur penyakit mental di kalangan istana, yaitu
oportunis, KKN, dan ABS. Peristiwa ini dikiaskan pada kalimat, ”pangerengnga
pate’ buttong”, artinya pengiringnya adalah anjing tak berekor.
Kisah tentang masa kepemimpinan Yudha Negara, ialah masa kembalinya dari
keturunan Pangeran Cakraningrat I setelah merebut kekuasaan dari Jayeng Pati
dengan bekerja sama dengan Pangeran Trunojoyo. Saat itulah rasa patriotisme
mulai menjalar, masa usaha menghancurkan kolonialisme Belanda, meski masih
memakai sistem pemerintahan feodalisme aristokrat. Namun mendapat pujian
rakyat, sebagaimana terdapat pada kalimat, “paneka pangantan sopaja kengeng
Salamet, ya salam, salam”, (ini pengantin (pangeran) supaya mendapat
keselamatan, ya selamat, selamat), yang pada masa itu masih bergolak perlawanan
Trunojoyo.
Kisah tentang masa pemerintahan Pulong Jiwo, “kini pengantin lah tiba”,
yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah kembalinya Pulong Jiwo dengan
mengadakan perbaikan-perbaikan di dalam sistem pemerintahan dan juga
rasionalisme kultur yang rusak akibat masa pemerintahan Jayeng Pati.
Penerus kebijakan Pulong Jiwo, yaitu pangeran Romo. Ia dianggap orang yang
mumpuni dengan menerapkan sistem bapaisme yang merupakan perangkat dari sistem
feodalisme aristokrat, sehingga terjadi revolusi keraton. Untuk ini terungkap,
“tan taretan sadjana e dalem somana”, artinya saudara-saudara yang berada dalam
soma (rumah tangga), jadilah kepala rumah tangga yang baik dan bijak. Adat
istiadat mulai berkembang dengan harapan, “olle tetep Islam dan Iman”, agar
tetap Islam dan Iman.
Kisah masa pemerintahan Wiromenggolo I, yaitu saat terjadi pemberontakan
melawan Belanda, disebut, “ana’ serdadu mekol senapan,” (anak serdadu memikul
memanggul senjata). Menyebut Wiromenggolo I yang anti Belanda namun masih
tertutup, termasuk yang anti Belanda ialah Wiromenggolo II serta cucunya, Jaga
Sastro yang tewas ketika menyelamatkan pangeran Diponegoro pada saat
pertempuran di Madura.
Kisah masa pangeran Lolos, sebagaimana disebut, ‘pangantan ka’imma
pangantan’, (penganten (pangeran) dimana pangeran), pada waktu pangeran Lolos
di serang Raden Buka’. Pangeran Lolos disebut juga pangeran Jimat.
Masa pemerintahan Raden Buka’ (Jimat), dijelaskan pada kalimat, ‘jas Turki
pakaian celana puti’, dimaksud jas Turki celana putih, yaitu pakaian jas bentuk
terbuka sebagaimana pakaian orang Turki, dengan kopiah merah berumbai-rumbai.
Jas terbuka ini menandakan jaman masa Raden Buka’.
Masa Ke’ Lesap, yang tertera pada kalimat, ‘Yam beranak etekla ayam
pengantin baru sudah berjalan’. Maksudnya pemerintahan diganti oleh seseorang
tapi bukan dari tutrunan pangeran Wetan. Memerintah hanya sebentar karena
selalu terjadi peperangan.
‘La bu’na mella ajam poté’, artinya masa pemerintahan oleh seorang ibu,
yaitu Ratu Tirtonegoro. Roda pemerintahan berikutnya diserahkan kepada Bindara
Saod (1750-1762 M). namun timbul permasalahan sebagaimana dalam kalimat,
“cocco’ sangkang e soro pajikaran”, artinya dipatuk burung gelatik disuruh
tukang pedati. Yaitu pemerintahan pedati yang bukan dari keturunan pangeran
Wetan, tapi dari orang kebanyakan (golongan masyarakat rendah).
Rentetan analisis di atas hanya merupakan bagian-bagian tertentu dari
masing-masing bait. Namun demikian versi lain masih terjadi penafsiran lain
yang bersifat dimensional. Jadi makna ganda dan dimensionalis dogma yang
terkandung merupakan rangkaian makna yang tersirat. Maknanya juga bisa berarti
dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufistik melalui Doktrin-doktrin yang
memiliki kekuatan politik serta kritik sosial pada jamannya.
Disisi lain, syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mempunyai pengertian mengangkat
ritualisme melalui jalur pengantin anak-anak, sebagaimana harapan penciptanya
(anonim) agar lebih mudah dan leluasa dijiwai oleh masyarakatnya, yaitu ritual
pengantin yang diangkat menjadi tradisi (folklore).
Demikian pula irama yang dihasilkan, bagaikan lantuman gaung penderitaan,
ketidakpuasan, kecintaan, keagungan, kebahagiaan seperti letupan-letupan detak
gendang dan gong di pendapa. Maka terciptalah rasa senasib sepenanggungan,
sebagaimana dimaksud pada kata, “dhe’-nondhe’”, yang berasal dari kata, “dhu’
nondhu’”, yang artinya menunduk. Dalam pengertian nondhu’ para orang tua Mdura,
menyimpulkan kepada, “Bapa’, babu’, guru, rato”, maksudnya tunduk kepada ayah,
ibu, guru (ulama), dan ratu (pemimpin).
KANDUNGAN FILSAFAT
Nilai filsafat yang terkandung dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang
merupakan manifestasi dari latar belakang sejarah yang terkondisi oleh berbagai
permasalahan kehidupan. Kebenaran yang tersirat merupakan makna dimensionalisme
dogma. Maknanya bisa berarti dialektika sejarah, budaya, filsafat, sufisme
melalui kerangka doktrina-doktrina yang mempunyai kekuatan politik dalam
kritik-kritik sosial pada jamannya.
Dari sudut budaya, pengertian Dhe’ nong dhe’ ne’ nang mengangkat ritualisme
dari jalur pengantin anak-anak, menuju obyek sasaran yang dikehendaki oleh
pembuatnya. Hal ini nampak jela terungkap pada tiap-tiap bait, bait pertama
hingga bait tiga belas, merupakan ritualisme dari awal pengantin sampai pada
babak kelahiran (bait 9) dan diteruskan sampai beberapa bula berikutnya.
Disebutkan pada awal bait, secara filsafat dapat di teropong sebagai masa
bulan madu, yang diiringi dengan suasana gembira dan bahagia dalam irama
gamelan, dhe’- nondhu’ (dhu’-nondhu’ artinya masa menunduk), yaitu rasa bahagia
tetapi diliputi rasa malu, hati yang tenang karena sudah berlabuh kebahagiaan.
Tenang disini diungkap pada kalimat, “ne’ nang jaga (gong) jaggur”. Jaggur
berkonotasi dua pengertian, yaitu jatuh dan atau buah pohon jati. Ini merupakan
idealisme pengantin yang tinggi, suatu nilai kerahasiaan wanita (keperawanan)
yang selalu didambakan pada awal malam pertama. Buah pohon jati (bulat kecil
merah membara terdapat noktah hitam) mempunyai maksud setitik, yang
melambangkan titik mutfah yang terjaga. Bahkan dalam pengertian haena haedeng
haena dhangkong, masa itu adalah masa penyesuaian watak dan karakter.
Menurut sunnnaturrasul dikatakan, waktu mutfah dimasuki ruh yang terdapat
pada bait ke-3, dan selamatan pada bait ke-7. perjuangan hidup dan mati pada
bait ke-8 dan ke-9, yang mempunyai arti masa kelahiran. Sementara pengamat yang
lain mengatakan, kalimat pakaian jas Turki merupakan singkatan bahasa Madura,
yang ber-pengertian bahwa masa membersihkan diri pada masa persalinan. Sehingga
secara budaya, merupakan ritualisme adat yang secara universal semua orang
mengalami peristiwa tersebut.
Dalam pengertian sudut filsafat, sangat jelas sekali bahwa dimaksudkan
merupakan ajaran atau doktrina ontologia, yang menjelaskan tentang hakekat
asal, akhir dari tujuan hidup. Dan apabila dikaitkan dengan ilmu kebatinan
Jawa, hal ini merupakan hakekat Sangkaning Dumadi. Yaitu, hakekat sebelum dan
sesudah hidup. Pengertian masa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang, yaitu pada masa Awang
Wung, masa kekosongan dalam awal azal.
Bait ke-3 memberikan pengertian filsafat yang tinggi sampai bait ke-12. ini
merupakan doktrin filsafat tentang hidup. Tentang hakekat, tarekat, dan
makrifat dalam syariat hidup. Tentang awal tidak hidup menjadi ada hidup dan
tidak ada hidup, dan hidup yang dikekalkan dari semua makhluk. “Ada hidup”,
yang dikemukakan dalam, “jaga jaggur”, yaitu hakekat Jati sperma yang hidup,
(“jaga berarti bangun dari tidur, bhs. Madura). “Haetolillah” (Hidayatullah),
berserah diri kepada Allah. “Ayam beranak etek” (ayam beranak bebek), ini
menjelaskan filsafat periodeisme, bukan menjelaskan dan mendukung filsafat
Darwinisme, yang digelarkan pada teori evolusinya, dan juga bukan merupakan
revolusinya Kal Mark. Tetapi merupakan sebuah realitas di bumi Sumenep tentang
periodeisme metamorfosis. Tidak ada manusia dari kera menurut Dhe’ nong dhe’
ne’ nang, tetapi yang ada ialah logika, “Yam beranak, eteklah ayam”, karena
ayam mengeram telur etek (bebek). Demikian antara lain kandungan filsafat yang
tercakup dari bagian-bagian bait dan baris tertentu.
Ungkapan lain yang terungkap, bahwa Dhe’ nong dhe’ ne’ nang tersimpan
doktrin tasawuf yang terkandung didalamnya. Yaitu, pada bait ke-1 sampai bait
ke-4 yang menyangkut ilmu psikis. Bait ke-5 sampai ke-8 menjelaskan tentang
ilmu methaphisik. Dan bait ke-13 memjelaskan tentang pendapat dari penulisnya,
yaitu tentang hakekat, “cocco’ sengkang esoro pajikaran”, yaitu tentang hakekat
paruh burung gelatik disuruh pedati. “Soro” dalam bahasa Madura mengandung
makna kunci (sorok). Jadi apabila dipadukan bisa berarti paruh burung Gelatik
pada kunci pedati. Sehingga dengan kata lain, ungkapan tersebut dapat berarti
paruh yang bersudut, berpusat pada titik poros kunci pedati, maka berarti bahwa
dorongan perputaran roda pedati. Dalam tasawuf yang dua belas itu, merupakan
dialektika dan romantika gerak roda pedati, dalam pengulangan hakekat ajaran
tasawuf.
Kajian tentang syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang memng memerlukan peralatan dan
wacana yang memadai, karena makna yang terkandung didalamnya mengandung isyarat-isyarat
yang sangat mendalam. Sebab tradisi semacam Tan Pangantanan ini memiliki akar
budaya yang sangat kuat sebagai landasan terbentuknya tatanan kehidupan
masyarakatnya pada jaman dulu hingga sekarang. Secara implisit makna kandungan
dalam syair Dhe’ nong dhe’ ne’ nang masih sangat banyak dan perlu pendalaman.
Namun untuk mengungkap makna seluruhnya tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, karena didalamnya masih tersimpan dimensi lain yang berkaitan dan
bersifat transendental.
6. SET-SESET MALOKO’
Set-seset maloko’
Iya tompe, iya bu’bu’
Tompena bagi ka mama’na
Bu’ bu’na bagi ka embu’na
Terjemahan
capung-capung kecil
ini kulit (dedak kasar/luar) jagung, ini dedak jagung
kulit (dedak kasar) untuk sang bapak
dedak jagung untuk sang ibu
Seset (Capung) adalah sejenis serangga yang banyak diketemukan pada
pergantian musim hujan ke musim kemarau. Pada pergantian musim inilah
Capung-capung mulai mengepakkan sayapnya, membelah angkasa. Nyanyian yang hanya
terdiri dari empat bait ini biasanya dinyanyikan oleh seorang ibu sambil
menggendong anaknya ketika sedang menyuapi makanan pada sang anak.
Set-seset maloko’, adalah rangkaian kalimat yang sangat sederhana, namun
apabila dikaji lebih jauh lagi maka setiap baris dalam kalimat tersebut
mempunyai nilai filosofis yang sangat mendalam. Secara umum bait-bait ini
memberikan nuansa umum tentang perbuatan baik dan menyenangkan kepada siapapun.
Namun secara khusus, baris ketiga dan keempat memberi penekanan tentang
keutamaan makhluk ciptaan-Nya, yaitu keutamaan seorang ibu.
Ketika salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah nabi besar Muhammad
SAW, siapakah orang pertama yang wajib dihormati dan diutamakan, Rasulullah
menjawab ibu, pertanyaan tersebut dilontarkan sampai tiga kali, dan Rasulullah
tetap menjawab ibu, baru keempat kali Rasulullah menjawab bapak. Ruh dari sabda
nabi besar Muhammad SAW tersebut telah menjadi darah yang mengalir dalam setiap
nadi dan menjadi kultur suku bangsa Madura yang menempatkan sosok ibu menduduki
tempat yang sangat istimewa dan utama.
Tidaklah mengherankan apabila penulis syair ini memberikan sesuatu yang
sangat istimewa bagi sang ibu, “bu’bu’na bagi ka embu’na”.
Baris keempat, “bu’bu’na bagi ka embu’na”, kalimat ini sejalan dengan
kebutuhan ibu dalam pemenuhan gizi.. Bu’ bu’ (dedak jagung ) adalah bahan
makanan mengandung nutrisi gizi yang sangat tinggi. Mengapa bu’ bu’ (dedak
jagung) ini diberikan kepada ibu? Bukan kepada Bapak? Mengapa sang bapak cuma
di beri tompe (kulit luar/dedak kasar)? Pertanyaan ini tentunya sesuai dengan
kebutuhan ibu sebagai pendonor pertama kebutuhan nutrisi gizi bagi
putra-putrinya.. Dedak jagung adalah bahan makanan yang halus dan enak, banyak
mengandung gizi yang tentunya sangat berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan
anak, terutama untuk ibu hamil dan menyusui.
Mengapa bu’bu’, bukan makanan lain seperti beras? Karena ketika penulis
syair ini hidup pada masa itu, jagung merupakan makanan pokok suku Madura.
Namun esensi dari baris keempat pada puisi lisan tersebut, bahwa manusia
Madura memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada sosok Ibu.
Tentunya ini merupakan ruh dari kultur budaya Madura yang relegius.
7. LIR-SAALIR
Lir saalir lirsaalir alirkung
Kan akowak epakaje
Ma’ ta’ rengsa se nyare
Lir saalir lirsaalir alirkung
Reng ta’ kowat ja’ akarja
Ma’ ta’ sossa budhi are
Lir saalir lirsaalir alirkung
Ka gunong ngala nyorowan
Kope bella kabadha’an
Lir saalir lirsaalir alirkung
Peker bengong ta’ karowan
Nape bula katamba’a
Lir saalir lirsaalir alirkung
Ngala’ baddha ban-saromben
Nyambi padhi gan sakesse
Lir saalir lirsaalir alirkung
Dika jaga ja’ ban-aban
Duli mandhi ma’le berrse
Lir saalir lirsaalir alirkung
Ngenjam buku pas pabali
Se andhi’ ma’ ta’ seddhi
Lir saalir lirsaalir alirkung
Sabban laggu dika mandi
Ja’ loppa ngossowe gigi
Lir saalir lirsaalir alirkung
Mon teggal badha atoghu
Ba’na entar mon kacapo’
Lir saalir lirsaalir alirkung
Lamon ba’na ngedhing laggu
Duli jaga mokka’ sapo’
Lir saalir lirsaalir alirkung
Molong tarnya’ ekagangan
Ngeba kaju gan saso’on
Lir saalir lirsaalir alirkung
Agabbasan katedungan
Bantal gulung pas esoson
Lir saalir lirsaalir alirkung
Lambajung baddhai kesse
E attassa etopoe
Lir saalir lirsaalir alirkung
Mon terro romana berse
Tanto bai esapoe
Lir saalir lirsaalir alirkung
Mon ka teggal ngeba ladding
Se ta’ parlo pas epoger
Lir saalir lirsaalir alirkung
Samarena pas ka jeddhing
Terros mandhi ma’le segger
Pengertian bebas bait 1 dan 2
Lir saalir lirsaalir alirkung
(sebagai pembatas sampiran dan isi, juga sebagai pembuka)
berteriak kuat-kuat
mencari biar tak penat
kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan perhelatan
agar tak susah di hari kemudian
ke gunung mengambil tawon (lebah)
botol pecah adanya
pikiran bingung tak karuan
bagiku apakah obatnya
Nyanyian (lagu) Lir-saalir yang bernada riang dan sedikit menggelitik ini
senantiasa di awali dengan syair Lir saalir lirsaalir alirkung, dan juga ketika
pergantian baris kedua dan di akhir nyanyian.. Biasanya anak-anak membentuk
kelompok dan menyanyikan secara bergantian. Ketika sampai pada kalimat, “Lir
saalir lirsaalir alirkung” maka secara spontan tangan mereka akan bertepuk
tangan dengan riuh serta menyerukan kata kung dengan nada yang panjang.. Bait
Lir saalir lirsaalir alirkung merupakan pembatas sampiran dan isi dan juga
sekaligus dijadikan pembuka ketika memulai nyanyian.
Makna yang Terkandung
Bait-bait yang disampaikan dalam nyanyian Lir saalir lirsaalir alirkung
sangatlah sederhana, namun dari kesederhanaan tersebut mengandung nilai-nilai
kearifan yang sangat tinggi, khususnya syair ini memberikan nasehat kepada
seseorang tanpa melukai perasaan yang dinasehati.
Syair ini mengingatkan kepada semua orang agar berbuat sesuai dengan
kemampuan, ini berkaitan dengan interaksi sosial di masyarakat. Biasanya
individu-individu dalam masyarakat ingin lebih dibandingkan dengan orang lain.
Sebagai makhluk sosial interaksi instens senantiasa dilakukan, baik dalam
bentuk organisasi, perkumpulan, maupun pengajian. Syair ini memberi wejangan
kepada siapapun untuk tidak memaksakan diri meniru cara orang lain yang lebih mempunyai
peluang di bidang finansial atau materi.
Terutama ketika sedang mempunyai hajatan atau perhelatan, sebagaimana yang
termaktub dalam kalimat, “Reng ta’ kowat ja’ akarja, ma’ ta’ sossa budhi are”.
(kalau tak mampu jangan dipaksakan mengadakan perhelatan / agar tak susah di
hari kemudian).
Dengan kata lain, jangan sok gengsi. Gengsi, kata tersebut merupakan pemicu
untuk berbuat memaksakan diri walaupun tidak mampu. Gengsi pula yang
menyebabkan seseorang nekat berhutang kian kemari hanya untuk memuaskan nafsu
ingin dipuji, karena meskipun secara materi tidak mampu tetapi dengan cara
apapun bisa melaksanakan hajatan sangat meriah dan mendapat pujian. Syair ini
mengingatkan agar berbuat sesuai dengan kemampuan, tidak memaksakan diri untuk
hanya sekedar menaikkan gengsi.
Karena dengan pemaksaan diri yang berlebihan, maka akan mendapatkan
kesusahan di kemudian hari. Syair ini memberikan gambaran yang sangat jelas dan
utuh, “//Lir saalir lirsaalir alirkung / Ka gunong ngala nyarowan / Kope bella
kabadha’an / Lir saalir lirsaalir alirkung / Peker bengong ta’ karowan / Nape
bula katamba’a //. (//ke gunung mengambil tawon (lebah) / botol pecah adanya /
pikiran bingung tak karuan / bagiku apakah obatnya//)
8. JAN-ANJIN
Jan anjin lang kocipla’ lan koceblung
Ngala’ aéng badai bagung
Kapandiya jaga tedhung
Ta’ cipla’ ciblung
Terjemahan bebas :
Ayun-ayun kocipla’ lang kociblung
mengambil air didalam tempayan
untuk mandi bangun tidur
kocipla’ kociblung
Biasanya nyanyian ini didendangkan oleh ibu-ibu muda untuk anak balitanya.
Sambil duduk di kursi yang agak tinggi sang ibu mendendangkan lagu, kaki sang
ibu dijulurkan sampai mencapai tanah. Kemudian anak diletakkan diantara
pergelangan kaki. Tangan anak dipegang oleh ibu kuat-kuat.
Setelah itu kaki sang ibu diayun-ayunkan keatas dan ke bawah sambil
mendendangkan lagu tersebut. Tentu sang anak tertawa senang dengan ayunan kaki
sang ibu.
Nyanyian ini menggambarkan kegembiraan yang meluap saat mengambil air.
Kondisi geografis Madura yang menyebabkan kondisi alam yang kurang
menguntungkan. Dengan curah hujan yang sangat kecil menyebabkan lahan-lahan di
wilayah Madura tandus. Maka tidaklah mengherankan ketika mengambil air di
sungai, di sumber mata air maupun di sendang, luapan kegembiraan itu muncul
dalam bentuk nyanyian. Keciplak, keciblung adalah irama yang dihasilkan apabila
tangan dipukulkan ke arah air.
Di samping air merupakan sumber kehidupan yang utama, ternyata air juga
mempunyai irama. Dan ini sudah dibuktikan oleh ilwuwan Jepang dengan
penelitiannya yang intensif pada air. Air bukan hanya melepaskan dahaga semata
atau menghasilkan irama saja, melainkan juga sumber tenaga dan muara dari hidup
sehat. Oleh karenanya, menjaga kesehatan menjadi sangat penting yaitu dengan
melakukan ritual mandi’.
9. GAI’ BINTANG
Gai’ bintang ya le’ gaggar bulan
pagai’na janor konéng
kaka’ elang ya le’ sajan jau
pajauna e lon-alon
liya lites, kembang ates, tocca’ toccer
Terjemahan bebas :
Menjolok bintang yang jatuh rembulan
alatnya janur kuning
abang pergi kian jauh
jauhnya ke alun-alun
(liya lites, kembang ates, tocca’ toccer)
Menjolok bintang, adalah sesuatu yang sangat mustahil, siapapun tidak akan
bisa melakukan pekerjaan tersebut. Apalagi alat yang dipakai menjolok hanya
janur kuning, apabila ditegakkan maka janur tersebut akan melengkung. Nyanyian
tersebut merupahan sindiran yang sangat halus dan disampaikan kepada siapapun
yang berangan-angan terlalu tinggi. Peribahasa Madura juga mengatakan, “mlappae
manok ngabang – (membumbui burung terbang)”. Tentu saja ada kesamaan tujuan
dari bait pertama puisi gai’ bintang dengan peribahasa Madura, mlappae manok
ngabang, yaitu memberikan sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang
diperoleh tidak sesuai dengan harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia
tidak akan menjadi kenyataan. Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya. Hal itu
terdapat pada syair, gai bintang, ya le’ gaggar bulan (menjolok bintang, yang
jatuh rembulan).
Kandungan isi yang dapat di petik pada syair ini adalah nilai relegiuitas.
Dalam benak manusia, bintang merupakan benda langit yang paling jauh dari
permukaan bumi dan sinarnya mampu memberikan penerangan di malam gelap gulita.
Bintang juga menjadi penunjuk arah, terutama untuk para nelayan ketika
mengarugi lautan yang luas. Bahkan bintang menjadi penunjuk untuk para petani
ketika akan memulai bercocok tanan. Menjolok bintang, merupakan sebuah impian,
namun yang terjatuh justru rembulan. Mengapa rembulan ? Karena rembulan
merupakan benda paling dekat dengan bumi, dan apabila rembulan secara penuh
menampakkan wajahnya, maka untuk meraihnya cukup dengan menjangkaukan tangan.
Kaka’ elang ya le’ sajan jau’ (abang pergi kian jauh), bait ketiga ini
memberikan semacam legitimasi pada bait pertama dan kedua. Dan kemudian ditutup
dengan kalimat, pajauna e lon-alon, (jauhnya ke alun-alun). Syair ini
memberikan semacam sinyal kepada manusia tentang sebuah nilai, yaitu memberikan
sebuah persepsi bahwa terkadang sesuatu yang diperoleh tidak sesuai dengan
harapan, bahwa semua yang diinginkan oleh manusia tidak akan menjadi kenyataan.
Semuanya tergantung kepada pemberian-Nya
10. DADDALIYAN
Daddali li’
daddalkung
bi’ Sali li’
juwal mennya’
mennya’ nape
le’ mennya’ lantung
lantung nape
li’, lantung tunggi
gil nape
li’, gil-gilbut
but nape li’
but bujel
jel nape
li’, jal gaddhang
dhang nape
li’, dhang bigi
gi nape li’
gigibang
bang nape
li’, bangbangkong
Daddali li’
daddalkung
nase’ obi
li’ gangan lurkung
andhi’ ana’
li’ neng settung
e pokola li’
tako’ potong
bu’ salwi
li’ dagang mennya’
mennya’ nape
li’, mennya’ lantung
porop nape
li’, porop jagung
jagung nape
li’, jagung kupung
daddali
kacung, daddali
pandhanna
rampa’ romben
abali kacung
abali
parabâna
nyandhak odheng
liya lites,
kembang ates, tocca’ toccer
11. DIN-DINDI’
Di’ dindi’ liya’ liyo’ pocedda koddhu’, na’ kana’ alakeya ta’ gellem
nodhdu’, noddu’a malem sennen, dika pagar penang, bula pagar bato, dika ana’na
demmang, bula ana’na rato; dika ngampar lantay, bula ngampar teker ; dika se
akamanto, bula se malekker.
Di’ dindi’ durin, gettana nak onagan, calelet sido nyamplung, bu siro
kembang opo, kembang batu, … mantona ratu, ratu tinggal moleya, moleya
ketinggalan ennot, te’ ente’ sere sa candhi’ , menang opo menang cile, nang
nong le’, man cella’ matana pate’
Di’ dindi’ tana pao, reng bara’ pagunongan, rampa’ kaju kaling, badha natta
badhuk celeng, bang balimbing, balimbing buwana emas, emmassa enten enten,
pangokorra mesem mesem, pa’ ombel, se mella’ se meddem
Di’ dindi’ gettana pao, reng dhaja gunong, nong papa an, senga’ jebbing. Susuna
jambu uring, enten embu’, nyambu’ neng sakoni’
Di’ dindi carumping, papan cangkring, ta’ lut piluddan,ghaludhak mata
tikus, lulungnga pulosari, ta’ tengnget-tengnget, tuwa-tuwana man Durahmat,
kothak kathek undor settong
Di’ dindi kapas, kapassa lema’ lema’, temanto sapa nyamana manto, mantogi,
sapa nyamana togi, togiller, sapa nyamana giller, larbais, sapa nyamana bais,
baisto, sapa nyamana isto, es topa’ balang kette’ ketteng
12. AENG LEMA’
Aeng lema’, Ali
aeng lema’, juko’ tase’ sembilangan
maen kanna’ Ali,maen kanna’
kanna’ sengko’ sake’ kabirangan
ajjota patang edder
12. LAR-OLAR KOLARJANG
Lar kolarjang
kolarjang ngekke’a bunto’
ekasambel ekajuko’
kalemmar matana juko’
jantu !
13. KO’ TONGKO’AN CALELET
Ko’ tongko’an calelet
janggar baddhung dha’ lao’na
ja’ ngo’ngo’an bu’ ellet
nase jagung dha juko’na
14. KE’ RANGKE’ KAKONENGAN
Ke’ rangke’ kakkonengan
nemmo sello’ elang pole
sare ajam pote
katopa’ toju’ nengkong abali pole, ngantol
pak rampak kakkonengan
nemmo sello’ elang pole
ka topa’ toju’nengkong
abali pole manjang
15. KO SOKO BIBIR
ko soko bibir
jurat jurit
komenneran
sakomel saksal
sakomel seksel
re’ kere’ mekol pangonong
garuggak nyodue tajin
jin sasodhu, nas palotan
palotan campore oto’
oto’ bigina palotan
16. PO’-KOPO’ AME-AME
Po’ kopo’ ame-ame
tallam menta’ kopo’
sabelluna ana’ patme
samalem dhudhu’ mokka susu
susuna lemma’ manis
jenten ereng plappa mora
cangkele’ cangkelongan
thok pathok kaju kalompang
sang ale’ aro’oman
tot patot daddi komantan
17. LA ILLA HAILLALLA
La illa hailalla
bantal sadat pajung Alla
sapo’ iman sandhing nabbi
kangan kacer
18. MON-TEMMON BUKO
Mon temon buko
bungkona lonta’ lonteng
ambet tatta’, ambet tetteng
mon ta’ soka ja’ nyaletheng
kalellan nyono’ kai’iya
19. LELLE NAREYO
lelle nareyo
sang soroy me’ papotong
sang gendhi’ me’ pabiru
bang janggal le’ beyek
bang malegel le’ jaggur
mon bangal le’ ngangsek
mon tako’ le’ mongkor
20. BA BABA BULAN
Ba baba bulan, bulanna sapa
bulanna Watik
ageleppar. Agelebber
noro’ ompossa penang
buru dha’ emma ana’
buru kagerrungnganna
21. DIPADHI CEMPLO LO’LING
Diphadi cemplo lo’ling
entara kana’ supang yang sayang
embu’ ambang atutup pindhang
alalap kacang nyang petis
tis kontolir bui’ ayu
dhadha’aran kundhang kalimansur jaran
garegjeggan jaran
garenneggan
no’ lenno’ nyodhu tajin
Dipadhi cemplo lelo
entara kana’ subat hai sayang
embu’ ambang atutup sindhang
alalap kacang yang pettes
lir kontolir bu’ ayu
garegjeggan jaran
garenneggan tamoy
no’ lenno’ nyodhu tajin
Dipadhi cemplo lelo
entara kana’ subat hai sayang
embu’ ambang atutup sindhang
alalap kacang yang pettes
lis-kantulis bu’ ayu
garegjeggan jaran
garenneggan tamoy
no’ lenno’ nyodhu gahwe
22. CING KINCING KERE’
Cing kincing kere’
ka bara’ bun bun
ka temor ka Paseyan
kabala’a ka Kalebun
apella ataeyan
ta’ biyar nampes, mata bular kecek
Cing kincing kere’ kere’
kaju lamapang paju maleng
malengnga rek-seregan
ka bara’ punpun
ka temor Pasuruan
se kemma kettheng
gutto’ sapolo ebang
ta’ biyer nampes
mata bular kecek
23. BING ANA’
Bing ana’
Ta’ endha’ nyempang lorongnga
Bing ana’
Mon lorong tombuwi kolat
Bing ana’
Ta’ endha’ ngala’ toronna
Bing ana’
Mon toronna reng ta’ pelak
Sapa rowa andhi’ tarnya’
Bing ana’