Pada Zaman Majapahit di Sampang
ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh
dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di
Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng, Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa.
Lembu Peteng akhirnya pergi memondok di
Ampel dan meninggal disana.
Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah
putera yang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger
berputera 3 orang laki-laki ialah Ario Langgar, Ario Pratikel (ia bertempat tinggal
di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing) dan Ario Panengah gelar Pulang Jiwo
bertempat tinggal di Karangantang.
Pratikel mempunyai anak perempuan yang
kawin dengan Ario Pojok dan mempunyai anak bernama Kiyai Demang (Demangan
adalah tempat kelahirannya) setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke
tempat tempat yang dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya disana,
pada suatu waktu ia sedang tertidur dipertapaannya ia bermimpi supaya ia terus
berjalan kearah Barat Daya kedesa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan
minta ijin pada orang tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan
ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat.
Menurut cerita Demang terus berjalan kearah Barat Daya diperjalanan ia makan
ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau
malam ia tertidur dihutan dimana ia dapat berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti
melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan
dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga nagasari,
diamana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang
dimaksud letaknya didesa Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut
Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang
bertemu diperjalanan. Sesampainya didesa itu mereka terus beristirahat ditempat
pengantarnya sambil menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan
ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak bberapa lam Demang jatuh cinta
pada perempuan itu dan mereka kawin, kemudian mereka mendirikan rumah besar,
yang kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari
perkawinan Sumekar dan Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama
sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi
bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang
akan menurunkan pemimpin-pemimpin masyarakat yang baik, putera yang tertua
Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin
pemerintah dikota itu.
Ia
kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai
Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan,
demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton
di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan
Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai
oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo
Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh
Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran
Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan
Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
A. Asal usul singkat mengenai kata Sampang
Kata Sampang di ambil dari perjalanan Jokotole melalui daerah-daerah utara
sampai Omben belok ke selatan akhirnya ke Banyubenger (Nyubenger) dari
perjalanan itu banyak daerah yang tak terlewati oleh Jokotole kata orang Madura
“E’ESEMPANGEH”. Sehingga menurut cerita daerah-daerah yang dilewati masyarakat
waktu itu memberi nama “SAMPANG” itulah asal mula nama Sampang yang telah
dikenal ditengah-tengah khalayak ramai dari jaman dahulu sampai saat ini.
Pada jaman Majapahit ditempatkan seorang
Kamituwo di kota yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan
kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur dari Sampang
yang berkuasa Ario Lembu Peteng Putra Majapahit dengan Putri Campa. Ario Lembu
meninggal dipondok Pesantren Ampel. Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah
anak tertua Majapahit (Ario Manger) yang Kratonya di Madegan dan memiliki tiga
Putra Ario Langgar, Ario pratikel, dan Ario Panengah. E’esempangeh menjadi kata
Sampang. Versi atau daerah lain tidak ada.
B. Asal mula nama Omben
Nama Omben memiliki arti yang berasal dari
legenda masyarakat setempat, Omben berasal dari cerita tentang JOKOTOLE yang
bersama istrinya DEWI RATNADI. Suatu ketika pulang dari majapahit ke sumenep
dengan berjalan kaki yang menelusuri berbagai daerah. Pada suatu hari mereka
menemukan sumber mata air yang besar, pada kesempatan itu Dewi Ratnadi istri
Jokotole mandi dan mencuci pakaian dicuci pula “Amben”nya itu, pakaian dalam
sejenis (pembalut) karena kebetulan datang bulan, tak tersangka amben itu
terlepas terhanyut dibawa arus air, dan merasa jengkel Jokotole bersumpah
“Abasto” bahwa sumber itu tidak akan mengalir pada desa lain dan mengalir
ketempat muaranya. Sejak hanyutnya “Amben” itu desa itu dinamakan OMBEN. Hanya
terdapat didaerah Omben sumber mata air, yang bermuara hanya di daerah Omben
saja. Tidak ke desa lainnya.
C. Hutan Alam Kera (Nepa)
Alkisah dijaman dahulu kala Tempat ini adalah
cikal bakal terbentuknya pulau dan kota-kota dimadura. Desa ini diberi nama
desa NEPA karena jaman dulu banyak sekali pohon Nepa atau sejenis kelapa kecil,
yang mana daunnya juga dibuat sebagai atap serta dibuat kertas rokok oleh orang
jaman dulu, disitu juga terdapat sekelompok kera turun berduyun-duyun dari
pohon itu. Sejak saat itu desa tersebut dinamakan desa NEPA. Hutan alam kera di
Jawa timur hanya di Sampang tempat hutan kera.
D. Masjid Madegan (Sompa Madegan)
Sompa Madegan terletak di arena Masjid
Madegan. Perihal mengapa masjid Madegan menjadi manjur menjadi tempat melakukan
sumpah pocong “Sompa Madegan”.waktu dulu keampuhan dari sompa Madegan ini
adalah mereka yang bersalah akan mendapatkan bala langsung ketika turun dari
Masjid usai bersumpah. Namun tetapi sekarang bala yang diterima si pesumpah
bervariasi ada yang mendapatkan bala setelah 40 hari, Seminggu, satu Bulan
bahkan sehari semalam. Maka dari itu Masjid Madegan terkenal sumpah pocongnya.
Untuk daerah sampang masjid madegan memang terkenal sumpah pocong yang sangat
ampuh.
E. Asal Mula Desa Panyepen
Nama Payepen memiliki arti yang berasal
dari legenda masyarakat setempat, bahwa desa itu dipercaya oleh orang-orang
dulu sebuah tempat pusaka sakti, sehingga orang yang ingin mendapatkan pusaka
tersebut itu harus menyepi, bertirakat di malam hari selama 41hari dengan
menyepi maka akan memperoleh pusaka itu. Semenjak banyaknya orang-orang yang
ingin menyepi didesa tersebut maka pada saat itu desa tersebut dinamakn desa
PANYEPEN Versi lain di makam Ratoh Ebuh di polagan, tujuan sama dengan menyepi
mengharapkan pusaka.
F. Taman Sari
Nama Taman Sari yang asal-usulnya
merupakan legenda dari masyarakat setempat bahwasanya pada jaman dulu orang
mengenal taman sari merupakan tempat pemandiannya Dewi-dewi yang lengkap dengan
telaga untuk pemandian, dengan seiringnya jaman tempat itu hanya tinggal nama,
bahkan sekarang sudah diganti Jl. Kramat. Tetapi masyarakat karang dalam masih
memakai nama TAMAN SARI
G. Asal Nama desa Kasenih
Asal nama Desa Kasenih yang merupakan
legenda dari masyarakat setempat. Konon nama itu merupakan nama dari nenek
moyang yang ada di desa tersebut (kseneh) dimana menurut ceritanya diwaktu
istri dari kseneh itu pamit untuk mandi ke taman sari dan perpesan agar menjaga
api (tomang) kalau sekarang Kompor, dan perpesan agar tidak membuka panci yang
ada di atas kompor itu. Merasa penasaran sang suami membuka panci itu, dan
ternyata hanya satu helai padi yang dimasak. Melihat kelakuan suami tersebut
istripun marah dan berbicara “berarti Kanda tidak percaya kepada Dinda” dan
istripun pergi. Ditinggallah suami yang hidup sendiri di desa itu. Dan sampai
suami meninggal yang kuburannya di namakan “BUJUK KSENEH” sampai saat ini desa
itu dinamakan KASENEH oleh masyarakat sekitar.
H. Makam Ratoh Ebuh
Makam Rato Ebuh bertempat di Madegan,
Ratoh Ebuh merupakan Ratu dari Bangkalan dan meninggal di Sampang. Ratoh Ebuh
juga merupakan orang tua dari raja pertama yang menguasai Sampang, biasanya
dimakam Ratoh Ebuh ini dipercaya untuk menyepi yang berharap untuk mendapatkan
pusaka. Sama dengan desa panyepen yang berharap untuk mendapatkan pusaka dengan
melakukan menyepi.
I.
Gambar Ayam Jago Panji Laras di Batu
Panji laras adalah nama dari seorang yang
kasatria yang baik, dan orangnya lurus dalam melakukan sesuatu, dan panji laras
memiliki Ayam jago yang dikenal oleh masyarakat setempat yaitu ayam panji laras
dimana Ayam tersebut selalu menang saat bertanding (sabung), dipolagan itu
biasanya Ayam panji laras itu berkeliaran di daerah polagan itu. Hanya terdapat
di desa madegan, karena satu-satunya peninggalan panji laras.
J.
Goa Lebar
Goa yang kedalamannya kurang lebih 100m
dari permukaan tanah. Goa yang dikenal oleh orang dulu merupakan tempat
bersejarah karena menurut ceritanya goa lebar itu merupakan tempat bertapa atau
menyepi para penganut paganisme yang menyembah Dewa-dewa masa kuno jauh sebelum
islam masuk di sampang, masyarakat sekitar hingga sekarang masih meyakini bahwa
di dalam goa masih ada benda-benda seperti patung atau artefak lainnya. Dan
sejak masuknya islam di Sampang menurut ceritanya goa ini merupakan tempat
petilasan pangeran Trunojoyo. Di Jawa timur masih banyak goa selain goa lebar
ini, tetapi hanya goa ini yang memiliki sejarah dan ciri khas goa lebar dari
pada goa-goa yang lain.
K. Air Mata Ebuh
Merupajan Sumber yang dinamakan oleh
masyarakat setempat yang berasal dari sebuah legenda setempat, konon istri Cakraningrat I sedang
berdoa dengan alas batu besar, didalam Cakranikoanya istri cakraningrat
mendoakan Cakraningrat dan keluarganya, setelah ditanyak oleh Cakraningrat
bahwa didalam doanya sang istri hanya mendoakan ketiga anaknya untuk menjadi
raja, dengan hal itu Cakraningrat marah besar dan abasto ke istrinya itu
“Mengapa kamu berdoa hanya untuk tiga anakku saja yang menjadi raja mengapa
tidak semua keturunan saya kamu doakan untuk menjadi raja?” mendengar
kemarahannya istri Cakraningrat menangis tak henti-henti yaang air matanya
sampai menjadi telaga, yang dikenal dengan AENG MATAH EBUH. Versi lain terdapat
di Bangkalan.
L. Asal Usul Nama Demongan
Nama desa Demongan di ambil dari legenda
pada jaman Majapahit dimana Putra yang menjadi raja sampang saat itu memiliki
Putra yang bernama Ario pratikel. Ario pratikel memiliki anak perempuan yang
menikah dengan Ario Pojok dan mempunyai anak yang bernama Kiyai Demang
(Demangan adalah tempat kelahirannya) sehingga nama demongan di ambil dari nama
Kiyai demang, Kiyai yang di percaya waktu dewasa sering pergi ketempat-tempat
yang dipandang keramat dan bertapa sampai berhari-hari. Maka saat itulah desa
itu dikenal desa DEMONGAN. Merupakan tempat lahirnya kiyai demang. Dan itu
hanya ada di demongan.
M. Nama Desa
Jubenger
Desa Jubenger dikenal masyarakat sekitar
sejak jaman dulu, dimana dari cerita legenda itu bahwa seketika Jokotole dengan
sang istri Dewi Ratnadi pulang dari Majapahit ke Sumenep dalam perjalanan istri
Jokotole berhenti sejenak untuk minum dan melepas lelah, setelah meminum air
didaerah itu istri Dewi Ratnadi berbicara kepada Jokotole bahwa air yang
diminum berasa dan berbau (banger), sejak saat itu Jokotole “Abasto” dan
menancapkan tonggkatnya sambil mengucapkan (banyu benger). Sejak saat itu desa
itu dinamakan desa JUBENGER. Versi hampir sama dengan terjadinya Sumberotok
sama menancapkan tongkatnya jokotole.
N. Nama Sumberotok
Nama Desa Sumberotok didapat pada cerita jaman Jokotole yang disaat itu Jokotole
bersama istrinya sejenak untuk beristirahat dan melepas lelah dari perjalanan
Majapahit ke Sumenep. Disaat itu Jokotole bersama istri berniat untuk mandi,
tetapi didesa tersebut tidak ada satupun warga atau tempat yang bisa dibuat
mandi, maka dari itu Jokotole marah “Abasto” sambil menancapkan tongkat yang
dimilikinya, dengan tidak sengaja tongkat yang dicabut ternyata mengeluarkan
air secara PERCIK (TOK NGALTOK) kata orang madura. Jadi sejak saat itu sumber
itu dinamakan SUMBEROTOK Tidak ada versi lain dimana yang sumber air Tok
ngaltok.
O. Asal Mula Membuang Sial di Pulau Kambing. Kab. Sampang
kec. Gili
Tradisi membuang sial di Pulau Kambing
merupakan adat yang turun temurun dari nenek moyang tempo dulu, menurut
ceritanya membuang sial di pulau ini dilakukan dengan sendirinya, seperti
menenggelamkan perahu, atau perahu diisi air sampai penuh agar bisa tenggelam,
dan uniknya juga dari cerita ini upacara pembuang sial dilakukan dengan sendiri
dan tidak boleh ada orang yang tau, jika ada seseorang yang melihatnya maka
.orang tersebut harus mengangkatnya perahu itu tadi. Dan itu merupakan resiko
bagi yang melihat. Tradisi itu sudah turuntemurun sampai sekarang. Masih banyak
derah-daerah yang sama acara adat membuang sial.
P. Sungai Gerongan
Konon legukan sapi yang terdengar pada
malam hari tanda akan munculnya siluman Blorong yang meminta tumbal manusia.
Kabarnya siluman Blorong adalah mantan anak buahnya Nyi Roro kidul yang mbalelo
sehingga di usir dari kerajaan. Kini siluman itu menghuni tempat angker di
muara Sungai Gerongan, sampang. Menuhrut cerita sebelum siluman keluar biasanya
terdengar legukan sapi yang panjang, kemudian disusul dengan pusaran di
tengah-tengah muara. Merupakan versi cerita misteri dari legenda masyarakat
sekitar.
Q. Asal Mula Nama Camplong
Menurut legenda Desa Camplong di dapat dari istilah NYAMPLONG.
Dimana ayah dari Jokotole yang memerintah di Sapudi yang banyak pohon
Nyamplongnya, buahnya dijadikan tasbih oleh ayah Jokotole karena itulah banyak
orang yang menanam pohon Nyamplong tersebut. Kraton yang ia tempati oleh orang
desa di sebut nyamplong. Dan ayah Jokotole meninggal yang kuburannya di namakan
ASTA NYAMPLONG. Sejak saat itu desa itu dinamakan desa CAMPLONG. Versi lain di
pulau sapudi.
R. Asal Mula Kata ONGGE dan TORON dari Madura.
Madura Menurut sumber kata ONGGE (naik) PERGI dan TORON (turun) PULANG didapat dari cerita masyarakat
Madura. Dimana masyarakat mengatakan bahasa TORON jika seseorang itu pulang
atau datang ke pulau Madura entah itu dari surabaya, atau pulau-pulau lainnya,
yang dianggap oleh masyarakat Madura bahwa kalau mereka sudah kembali ke rumah
asal berarti mereka istirahat. Bisa diartikan TORON,datang itu untuk
beristirahat. Dan sebaliknya jika orang asli Madura meninggalkan Madura entah
itu kepulau lain maka orang Madura mengatakan ONGGE (naik) pergi yang berarti
mereka bekerja. Bisa diartikan ONGGE itu untuk bekerja. Hanya ada di versi
madura. ONGGE itu untuk bekerja dan TORON itu untuk istirahat.
S.
Sejarah Situs Ratu Ibu
Memasuki areal situs komplek pemakamam
Ratu Ibu yang terletak di Kampung Madegan, Kelurahan Polagan, Kec. Sampang
Kota, siapa pun pasti tidak akan pernah menyangka bahwa tempat itu merupakan
cikal bakal berdirinya kerajaan Sampang. Pasalnya, kondisi situs itu sangat
memprihatinkan. Sejumlah benda peninggalan sejarah sudah banyak yang tidak utuh
lagi.
Untuk menuju komplek makam terdapat sebuah
bangunan gapura, sebagai pintu masuk kompleks pemakaman para raja, serta makam
Ratu Ibu yang sangat dikeramatkan oleh warga setempat. Ironisnya, dinding
gapura yang terbuat dari batu itu warnanya terlihat suram dan hampir roboh
tergerus zaman.
Demikian pula nasib cungkup makam Ratu
Ibu, serta makam yang lain, tampak sekali tidak mendapat perawatan. Batu
nisannya sudah tidak berbentuk lagi, bahkan sebagian telah hilang. Itu sangat
menyulitkan bagi siapa pun untuk mengetahui nama-nama jazad yang terdapat dalam
batu nisan tersebut.
Namun, sayangnya, selama ini tidak ada
upaya dari Pemkab Sampang untuk melestarikan cagar budaya yang masih tersisa
itu. Padahal, menurut data arkeologi dan pakar sejarah, pada daun pintu gapura
paduraksa yang berada di komplek makam Ratu Ibu itu terdapat relief berupa
seekor naga yang terpanah tembus sampai ekornya.
Relief tersebut dinyatakan sebagai
sangkala memet yang berbunyi naga kapanah titis ing midi. Itu berarti tahun
1546 caka (1624 masehi). Berdasarkan catatan sejarah, 1624 masehi merupakan
peristiwa pengangkatan Raden Praseno sebagai raja Madura dengan gelar pangeran
Cakraningrat I yang berkedudukan di kampung Madegan tersebut.
Raden Praseno adalah anak dari Ratu Ibu
dengan Pangeran Tengah yang gugur dalam peperangan ketika Praseno masih kecil.
Pangeran Tengah adalah anak dari Panembahan Lemah Duwur, seorang raja yang
berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di
Kabupaten Sampang.
Dialah pendiri Masjid Madegan,
satu-satunya bangunan di situs tersebut yang sampai saat ini masih terawat
dengan baik. Masjid yang kabarnya tertua di Sampang itu memiliki keunikan, yaitu
4 tiang penyangga bangunan semuanya miring ke kiri. Meski warga setempat sudah
bebebapa kali memperbaiki letak pilar penyangga yang terbuat dari kayu jati
tersebut, tetapi tetap saja kembali dalam posisi semula.