Adat istiadat di madura sebenarnya tidak
jauh beda dengan mereka yang di luar madura sebagian ada yang beda, seperti
adap penikahan , Sebagai mana dikutip
dari para sesepuh madura soal peminangan seorang gadis sampai pada acara
pernikahannya, maka pada mulanya orang tua para dua calon mempelai membuat
suatu kesepakatan tanpa sepengetahuan dua calon mempelai tesebut karena sudah
menjadi tradisi sejak nenek moyang kita. Konon katanya selalu dijodohkan pada
famili-familinya sendiri dengan alasan agar ikatan kekeluargaan tidak terputus
dan menjadi keluarga besar secara turum temurun.
Menurut
kebiasaan para orang tua laki-laki, mereka akan selalu melihat dan
memperhatikan di setiap kalangan keluarga-keluarganya sendiri, barangkali
disitu kebetulan ada gadisnya, barulah para orang tua bermusyawarah untuk
meminangnya. Setelah ada kesepakatan maka orang tua laki-laki mendatangi rumah
si gadis tersebut dengan membawa kopi gula, dengan maksud sementara menanyakan
si gadis itu, walaupun sebenarnaya sudah tahu bahwa si gadis itu kosong. Namun
jawabannya sementara dari pihak orang tua si gadis menyampaikan terima kasih
atas kunjungannya. Setelah bermufakat dengan para sesepuh barulah orang tua
mengunjungi rumah pihak laki-laki dengan membawa kue-kue ala kadarnya sebagai
pernyataan setuju.
Selanjutnya,
datanglah pihak laki-laki untuk kedua kalinya dengan membawa Pisang dan Naga
Sari (jajan yang di bungkus daun pisang). Sementara arti dari
persembahan-persembahan tadi mengandung makna yang penting. Misalanya pisang
ini ada dua macam yaitu pisang muda dan pisang yang sudah matang. Pisang muda
dapat diartikan bahwa perkawinan masih lama waktunya. Sedangkan pisang yang
sudah matang mengandung arti bahwa perkawinannya sudah tidak lama lagi waktunya.
Kemudian makna dari Naga Sari ialah mencari (Asare).
Karena peminangan
tadi sudah disetujui, maka keesokan harinya datanglah si tunangan laki-laki
ketempat si gadis dengan membawa sepikul kayu bakar sebagai persembahan dan
sebagai suatu tanda bahwa si tunangan sudah bertandang, dengan maksud ngapel
(Asanjhe).
Selanjutnya setelah
pertunangan terus berlangsung maka tibalah waktunya pada musim semi, sebagai
petanda bahwa sebentar lagi para petani turun kesawahnya masing-masing.
Biasanya bagi bisan perempuan mengadakan selamatan mengundang bisan laki-laki
dan tetangga terdekat sedangkan bisan laki-laki membawa beras sekaligus dengan
rempah secukupnya. Sesuai itu keesokan harinya pergi ke leluhurnya untuk minta
saat yang bagus, sesuai keyakinan diwaktu itu, barulah bisa turun ke sawahnya
besama-sama dengan bisan untuk mengolah tanah sawah tersebut dan menanam bibit
padi. Menjelang kemudian setelah bibit padi siapa di tananam, maka bisan
perempuan mengundang lagi untuk bercorak tanam bersama-sama.
Setelah tanam padi
terus bergabung hingga padi semakin tua, maka petani membangun gubuk-untuk
tempat berteduh sambil menunggu saat panen padi tiba (Arangge’). Setelah padi
mualai menguning maka para petani berbondong-bondong menempati gubuk tersebut
di sawahnya masing-masing (Apondung) menyiapkan segala sesuatunya untuk saat
panen padi nanti, dengan berbulan-bulan di sawahnya manjaga padinya yang sudah
siap di panen.
Saat panen tiba maka
para petani yang hasil taninya banyak dan memuaskan, mereka sambil lalu
mengadakan kesenian Pangkak. Pangkak di lakukan oleh para lelaki sedangkan
perempuaannya menonton sambil memanen padi.
Pangkak adalah musik
yang terbentuk suara mulut yang disertai dengan tari-tarian. Di tengah–tengah
permainan seni Pangkak para tetangga sekitarpun semakin senang dan makin banyak
yang berdatangan sehingga para pemanen para pemanen padi semakin senang dan
semakin banyak yang berdatangan sehingga para pemanen padi semakin semangat
menyelesaikan perkerjaannya .
Pangkak waktu dulu
telah membudaya hingga hingga cara berpakaiyanpun sangat rapi diantaranya:
sarung merah, baju putih dan memakai blangkon (SENGEL). Setelah panen
selesai, maka padi tersebut diangkut dengan kuda yang beriring – iringan.
Menurut kebiasaan diwaktu dulu, setelah padi sudah di tempatlama kemudciaan
dari pihak perempuan berbincang – bincang merencanakan hari dan tanggal perkawinan.
Setelah hari tanggal dan waktu acara sudah di tentukan maka bisan perempuan
memberitahukan kepada bisan laki – laki tentang keputusan waktu pernikahan.
Kurang lebih sekitar 1 bulan menjelang hari pernikahan biasanya dari pihak laki
– laki mengadakan acara yang di namakan PEPENTA’AN
(lamaran)
Pepenta’an dilakukan
dengan mengondang sanak familinya sendiri dan tetannga terdekat yang dilakukan
sore hari dengan berbondong – bondong sepanjang jalan yang berjulah sekitar 300
orang. Ada yang membawa kue dan juga membawa peralatan seperti lamari, ranjang
kasur dan lain–lain yang din iringi kesenian adat yaitu GENDENG DUMEK .
Keesokan harinya dari
pihak perempuan mengadakan acara ke tempat pihak laki–laki yang di sebut BEBELESAN
. Selanjutnya sampailah
pada hari akat nikah yang di rayakan seperlunya. Kemudian berikuanya di adakan
suatu acara yang di namakan PANGANTAN
ATOLO, yaitu pengantin laki–laki mau memasuki rumah pengantin perempuan
yang dilakukan malam hari yang diiringi dengan oleh para keluarga dengan cara
yaitu sekitar 5 meter dari pintu masuk, maka pengantin laki-laki dan
rombongannya jalan berjongkok sambil kedua tangannya menyalami kedua mertuanya.
Sedangkan pengantin wanitanya menunggu di dalam kamar. Sorak para tamu dan
undangan tak terhentikan ketika pengantin laki-laki memasuki kamar wanita.
Keesokan harinya
dilanjutkan dengan hiburan KOKOCORAN
yang diselenggarakan sore hari yaitu para keluarga daan kerabat menari
mengelilingi kedua dua mempelai dengan gamelan dan kebiasaan yang lain untuk
meramaikan acara .
Pada malam kedua,
kegiatan pentunjukan terus berlangsung seperti diadakan acara kesenian seperti MACOPAT (melle’an) dan kedua mempelai
tidak diperbolehkan untuk tidur selama acara berlangsung satu malam suntuk
untuk mendengarkan sura macopat yang merdu yang dinamakan KAPOTREN.
Adat-istiadat terus
berlangsung sehingga beberapa bulan kemudian sampai mempelai hamil, setelah
kandungangnya berusia 7 bulan maka diadakan syukuran yang biasanya sebut dengan
selamatan 7 bulan, caranya ibu hamil didudukkan di atas kelapa sambil sang
dukun dan para sesepuh menyerami air dengan cara bergantian kemudian kelapa
tadi dibelah dua dan dilemparkan ke atas untuk menentukan apakah yang akan
dilahirkannya nanti laki-laki atau perempuan. Setelah ruwat dilakukan biasanya
ada sedikit perubahan pada ibu hamil tersebut seperti ngidam.
Beberapa bulan
kemudian, lahirlah seorang bayi dan biasanya para kerabat dan tetangga
menjenguknya. Dan pada saat bayi berusia 40 hari diadakan acara selamatan yang
biasanya disebut AQIQAH sekaligus pemberian nama.
Peristiwa Pangkak
Perlu diketahui terlebih dahulu, Upacara Adat Pangkak memiliki artian upacara
pemotongan padi atau pemangkasan padi saat tiba masa panen. Artian ini
diperoleh dari kata Pangkak yang dapat diartikan memotong atau memangkas dalam
bahasa Madura.
Dapat diuraikan aktifitas sebelum panen berjalan seperti biasa,
mulai dari penanaman bibit, proses penyiraman, pemberian pupuk, setelah
mencapaimasa panen barulah aktifitas perayaan dipersiapkan. Dalam hal ini pemilik
sawah bersiap-siap untuk merayakan Upacara Adat Pangkak. Persiapannya meliputi:
1. Mempersiapkan surat
undangan yang akan disebarkan dan memberikan pengumuman kepada para tamu yang
akan diundang. Semakin banyak tamu yang menghadiri acara tersebut semakin
bangga pula sang pemilik sawah.
2. Mempersiapkan sesajen
dan perlengkapan yang diperlukan.
3. Menunjuk seorang
tetua adat untuk memimpin acara tersebut.
Setelah segala sesuatu yang diperlukan
telah terasa siap, maka acara tersebut dapat dilaksanakan. Acara ini
dilaksanakan pada malam bulan purnama dimana para undangan telah berada dan
berkumpul di tengah sawah dengan mengenakan pakaian bagus berwarna norak.
Selain itu sang pria bertugas mengangkut padi dan kaum wanita bertugas menuai
padi, kemudian acara dimulai dengan pembacaan doa/parikan/mantra oleh pawang
pangkak desa setempat. Adapun mantra tersebut ialah sebagai berikut: Ambololo
hak-hak, ambololo harra akadi omba’ gulina padi masa arangga’ terbhi’ padi
togur reng tani lebur eoladi e masa reng tani arangga’ padi Ambololo hak-hak,
ambololo harra gumbhira kejung sambi atandhang ka’dissa oreng lake’ nabbu
gendang tal-ontalan palotan sambi atandhang tanda nyare judu ate lodang
Ambololo hak-hak, ambololo harra terjemahan bebasnya: Ambololo hak-hak,ambololo
harra Andai ombak ayunan padi Masa panen dekat menanti Pondokan petani indah
dilihat Dimasa petani memotong padi Ambololo hak-hak, ambololo harra Riang lagu
sambil menari Disana lelaki menabuh gendang Saling melempar ketan silih
berganti Tanda jodoh dicari Ambololo hak-hak, ambololo harra Setelah pawang
pangkak membacakan mantranya, kemudian acara selanjutnya diisi dengan
tari-tarian yang diiringi berbagai jenis musik pengiring.
Adapun tari-tarian yang dibawakan adalah
:
1. Tari Ngagga Manok
(Tari Halau Burung): Tari yang dilakukan dipinggir sawah dimana gerakannya
menyerupai menghalau burung agar tidak mendekay kearah padi yang sedang tumbuh.
2. Tari Ronjhangan (Tari
Menumbuk Padi): Tarian yang dilakukan bersamaan dengan saat para wanita
menumbuk padi secara bersamaan dan berselingan.
Selain itu untuk memperindah tarian
tersebut juga diselingi beberapa musik pengiring yang berupa:
1. Saronen: Musik
tradisi rakyat yaitu Kennong Tello’
2. Ronjangan: Alat
penumbuk padi yang terbuat dari batangan kayu panjang yang diberi lubang
sepanjang batang kayu.
Gugusan kepulauan Madura di kenal
sebagai daerah dengan alam yang tandus. Wilayah Madura terdiri dari sekitar
tujuh puluh (70) pulau, daerah minus semacam ini di cap tidak mungkin memiliki
kegiatan kesenian dibandingkan dengan pulau tetangganya, yaitu Jawa.
Ternyata anggapan tersebut sangat
keliru, karena suku bangsa Madura memiliki kekayaan karya seni yang sangat
fenomenal. Ketidak-tahuan tentang kesenian tersebut disebabkan wilayah ini
hanya dianggap sebagai daerah pinggiran Jawa, baik di pandang dari sudut
geografis, historis dan budaya. Pelajari dan Lestarikanlah budaya kita agar
tidak punah.