Sumenep adalah nama salah satu Kabupaten diujung paling timur Pulau
Madura, yang konon katanya merupakan Kadipaten berpangaruh atas lahirnya
Kerajaan Majapahit dahulu. Berdirinya Kabupaten ini tak luput dari peran tokoh
zaman kerajaan yang bijaksana dan pintar yakni “Arya Wiraraja”, Dari kabar yang
berkembang di kalangan masyarakat Kabupaten Sumenep, soal asal usul nama
Sumenep masih terdapat perbedaan dalam memaknainya. Misalnya kalangan kelompok
terpelajar dan tinggal di sekitar pusat kabupaten Sumenep, umumnya menyebut
dengan kata Sumenep. Sedangkan masyarakat yang tinggal di pedesaan, menyebutnya
dengan kata “Songennep”. Namun dari sumber Pararaton disebutkan kata Songennep
dikenal atau lahir lebih awal daripada sebutan Sumenep.
Pararaton menyebutkan sejumlah bukti antara lain sebutan Songennep lebih
banyak dipakai atau dikenal oleh sebagian besar penduduk kabupaten Sumenep.
Kemudian, pengarang buku sejarah dari Madura R. Werdisastro menggunakan istilah
Songennep dalam bukunya berjudul “Babad Songennep”. Sementara sebutan Songennep
kurang populer di masyarakat pedesaan Sumenep, (80% dari jumlah penduduk
kabupaten Sumenep tinggal di desa).
Untuk menyeragamkan penyebutan Sumenep, maka pada ada inisiatif untuk
merubah nama Songennep menjadi Sumenep di zaman penjajahan Belanda. Perubahan
itu terjadi pada permulaan abad XVIII (1705), ketika Belanda memulai peran
dalam menentukan politik kekuasaan pemerintahan di Madura termasuk Sumenep.
Perubahan nama Songennep menjadi Sumenep, antara lain untuk penyesuaian atau
kemudahan dalam pengucapan agar lebih sesuai dengan aksen Belanda. Bagi mereka
lebih mudah mengucapkan Sumenep daripada melafalkan Songennep. Selian itu
perubahan nama juga untuk menanamkan pengaruh kekuasaan Belanda terhadap
Masyarakat Sumenep, sama seperti perubahan nama Jayakarta menjadi Batavia.
Dilihat dari arti katanya, Songennep adalah nama asal pada masa kuno.
Songennep menurut arti etimologis (asal-usul kata), yaitu :Song berarti relung,
geronggang (bahasa Kawi), Ennep berarti mengendap (tenang). Jadi, Songennep
berarti lembah bekas endapan yang tenang. Selain itu ada juga yang mengartiikan
bahwa Song berarti sejuk, rindang, payung. Ennep berarti mengendap (tenang).
Jadi, Songennep berarti lembah endapan yang sejuk dan rindang.
Arti yang kata lainnya juga menyebutkan bahwa Song berarti relung atau
cekungan. Ennep berarti tenang. Jadi, Songennep berarti lembah, cekungan yang
tenang atau sama dengan pelabuhan yang tenang. Dalam masyarakat Sumenep sendiri
juga berkembang pengartian Songennep dibagi menjadiMoso ngenep.Moso dalam
bahasa Madura berarti lawan atau musuh, Ngenep berarti bermalam. Jadi,
Songennep berarti lawan atau musuh menginap atau bermalam. Cerita mengenai
asal-usul nama “Songennep” berdasarkan versi ini sangat popular di lingkungan
masyarakat Sumenep
Cerita atau pendapat ini dihubungkan dengan suatu peristiwa bersejarah
di Sumenep tahun 1750, yaitu saat diserangnya dan didudukinya keraton Sumenep
oleh Ke Lesap yang berhasil menaklukkan Sumenep dan selama 1/2 bulan tinggal di
keraton Sumenep. Karena peristiwa tersebut, maka dinamakan Moso Ngenep yang
artinya musuh bermalam.
Meski demikian, pengartian Moso Nginep dinilai tidak benar, sebab kitab
Pararaton yang ditulis tahun 1475-1485 sudah menuliskan nama Songennep. Ini
berarti nama Songennep sudah lahir sebelum Ke Lesap menyerang Sumenep. Kitab
itu menyatakan bahwa, Songennep berasal dari kata-kata Ingsun Ngenep.Ingsun
artinya saya, sedangkan Nginep artinya bermalam. Jadi Songennep berarti saya
bermalam. Pendapat ini kurang popular di kalangan rakyat dibandingkan dengan
versi lainnya. Ada orang yang menghubungkan dengan peristiwa ini dengan
kejadian 700 tahunyang lalu, ketika Raden Wijaya mengungsi ke Madura akibat
dikejar-kejar Jayakatwang.
Kadipaten Sumenep Saat itu Kadipaten Sumenep berada dibawah kekuasaan
Kerajaan Singosari, dengan penguasanya Raja Kertanegara. Dengan demikian Arya
Wiraraja dilantik oleh Raja Kertanegara, sehingga sumber prasasti yang
berhubungan dengan Raja Kertanegara dijadikan rujukan bagi penetapan Hari Jadi
Kabupaten. Sumber prasasti yang dapat dijadikan sebagai rujukan adalah prasasti
antara lain, Prasasti Mua Manurung dari Raja Wisnuwardhana berangkat tahun 1255
M, Prasasti Kranggan (Sengguruh) dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1356 M,
Prasasti Pakis Wetan dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1267 M, Prasasti
Sarwadharma dari Raja Kertanegara berangkat tahun 1269 M. Sedangkan sumber
naskah (manuskrip) yang digunakan untuk menelusuri lebih lanjut tokoh Arya
Wiraraja, antara lain Naskah Nagakertagama karya Rakawi Prapanca pada tahun
1365 M, Naskah Peraraton di tulis ulang tahun 1631 M, Kidung Harsa Wijaya,
Kidung Ranggalawe, Kidung Pamancangan, Kidung Panji Wijayakramah, Kidung
Sorandaka.
Dari sumber sejarah tersebut, maka sumber sejarah Prasasti Sarwadharma
yang lengkapnya berangkat tahun 31 Oktober 1269 M, merupakan sejarah yang
sangat signifikan dan jelas menyebutkan bahwa saat itu Raja Kertanegara telah
menjadi Raja Singosari yang berdaulat penuh dan berhak mengangkat seorang
Adipati. Prasasti Sarwadharma
dari Raja Kertanegara di Desa Penampihan lereng barat Gunung Wilis Kediri.
Prasasti ini tidak lagi menyebut perkataan makamanggalya atau dibawah
pengawasan. Artinya saat itu Raja Kertanegara telah berkuasa penuh, dan tidak
lagi dibawah pengawasan ayahandanya Raja Wisnuwardhana telah meninggal tahun
1268 M.
Prasasti Sarwadharma berisi penetapan daerah menjadi daerah suatantra
(berhak mengurus dirinya sendiri) dan lepas dari pengawasan wilayah thani bala
(nama wilayah/daerah saat itu di Singosari). Sehingga daerah swatantra
tersebut, yaitu daerah Sang Hyang Sarwadharma tidak lagi diwajibkan membayar
bermacam-macam pajak, pungutan dan iuran.
Atas dasar fakta sejarah ini maka pelantikan Arya Wiraraja ditetapkan
tanggal 31 Oktober 1269 M, dan peristiwa itu dijadikan rujukan yang sangat kuat
untuk menetapkan Hari Jadi Kabupaten Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269 M,
yang diperingati pada setiap tahun dengan berbagai macam peristiwa seni budaya,
seperti prosesi Arya Wiraraja dan rekan seni Budaya Hari Jadi Kabupaten
Sumenep.