Dalam sejarah nasional tercatat bahwa pada tahun 1222 kerajaan Kediri berhasil di taklukkan oleh Tumapel. Semula tumapel adalah wilayah taklukan Kediri dan diperintah raja
bawahan Ranggah rajasa yang terkenal dengan nama Ken Angrok. Peristiwa ini menjadikan Madura beralih penguasaan ke tangan Tumapel, yang nantinya dikenal dengan kerajaan singasari. Hal ini menunjukkan dengan berakhirnya kekuasaan kerajaan Kediri di Maura, maka menutup pula preode prasejarah Madura. Sejak pemerintahan Wangsa Rajasa yang di mulai ken angrok itu memang terdapat peninggalan berupa prasasti dan bahan-bahan tertulis yang secara tegas mengacu pada Madura1.
Berakhirnya masukan baru pengaruh kebudayaan India secara Langsung,bersamaan pula dengan masa permulaan sejarah Madura. Sejak saat itu kedatangan pedagang India sangat berkurang,karena pada waktu itu di negeri itu diserbu dan berhasil dikusai oleh bangsa mongol serta mulai dimasuki agama Islam. Di Nusantara peristiwa seperti ini menyebabkan timbulnya perkembangan kebudayaan
setmpat yang secara
pekat
bersifat
Lokal.
Pada
akhirnya
akan
menumbuhkan kebudayaan bercorak kejawaan dan kemaduraan yang khas. Akibatnya Hindu dan Budha mengalami sinkretisme atau pembauran sehingga menjadi agama Shiwa-Budha2.
Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa penguasa
dipercayai memerintah satuan wilayah di Madura pada waktu itu ditentukan langsung oleh Singasari. Prasati Mula Malurung yang dikeluarkan prabu Semi Ningrat atau Wishnuwardana ( 1248- 1268 ) menyatakan bahwa raja-raja bawahan daerah Madura dan taklukan Singasari lain adalah anak atau sanak saudara sang prabu. Tapi, sayang sekali bagian prasasti yang memuat nama keluarga Wishnuwardana yang diangkat sebagai penguasa Madura
itu hilang. Sehingga tidak diketahui siapa orangnya.
Baru ketika kekuasaan Kertanegara( 1268-1292) diketahui untuk wilayah Soengennep atau Sumenep mantan patih daha bernama banyak Adipati. Menurut cerita tutur Madura adipati yang bergelar Aria Wiraraja itu ini berkedudukan di Batu Putih. Penunjukan langsung oleh singasari tentunya berkaitan dengan politik pamalayu yang dianut oleh Wishnuwardana dan kartanegara. Upaya meluaskan kekuasaan guna menancpakan umbul-umbul merah putih di wilayah melayu dan daerah luar jawa lainnya ini memerlikan tentara yang banyak. Seperti masa-masa sebelumnya para pelaut dan prajurit Madura ikut dikerahklan untuk memeberikan
dukungan tenaga dan logistik.3
Buku paraton dan prasasti kudadu secara panjang lebar menguraikan peranan wiraraja dalam proses penghancuran kerajaan Singasari. Sumber yang
sama memaparkan pula bahwa saham besar orang-orang Madura dalam pembangunan kerajaan Majapahit yang menggantikannya. Peristiwa bemula ketika kertanegara menghina utusan raja cina khublai khan yang menghendaki agar singasari menyerahkan upeti pertanda pengauan takluk. Dengan sendirinya singasari menolak tuntutan ini sehingga menimbulkna kemarahan khublai khan. Unutk itu ia berniat memebalas dendam dan menghukum kartanegara dengan lan meneyerang singasari.
Namun sebelum tentara cina yang dikirim ke jawa tersebut tiba untuk menyerang singasari, terjdi perkembangan lain. Raja bawahan gelang-gelang yang bernama Jayakatwang dan masih keturunan Wangsa isan pemberontak pada tahun 1292. Dengan berkomplot bersama wiraraja ( yang sakit hati kepada Kertanagara karena merasa pengnagkatannya ke Madura sebagai hukuman ) Jayakatwang berhasil mengalahkan Singasari. Kebetulan pada waktu itu pertahanan Singasari lemah Karena sebagian besar tentaranya bertugas di Sumatra. Kertanagara terbunuh akan tetapi menantunya yang bernama Dyah Nararya Sanggrama Wijaya dapat melarikan diri ke Madura. Dalam buku –buku babad dan sejarah yang ditulis kemudian, tokoh keturunan wangsa rajasa ini terkenal dengan raden Wijaya, tetapi gelar raden baru diciptakan dan dipakai orang dua abad kemudian. Di Madura sang pangeran mendapat perlindungan dan bantuan dari Wiraraja. Yang terakhir menasehati Dyah
Wijaya agar kembali ke Jawa
serta berpura-pura
menyerah kepada Jayakatwang yang sudah menaiki tahta leluhurnya di Kediri.4
Walaupun dengan penuh kecurigaan, Jayakatwang menerima penyerahan Dyah Wijaya. Karena berhasil mendapatkan kepercayaan Jayakatwang, tak lama kemudian ia di hadiahkan sebidang tanah untuk tempat pemukimannya, tanah yang masih berupa hutan dan terletak dekat Tarik itu segera dibuka guna dijadikan perkampungan bagi dirinya dan dan para pengikutnya. Pembukaan hutan itu dilakukan dengan bantuan orang-oang Madura yang sengaja dikirim oleh Wiraraja. Konon salah seorang pekerja Madura yang sedang lapar mencoba makan buah pohon maja aegel mermelos yang banyak tumbuh di hutan itu dan menemukan buah tadi pahit. Sejak saat itu tempat itu diberi nama Majapahit atau Wilwatikta dalam bahasa sansakerta. Secara diam-diam tempat baru itu diperkuat Dyah Wijaya sehingga menjadi perbentengan yang mudah diperhatikan.
Pada tahun 1293 datanglah tentara cina ( yang dalam cerita-cerita terkenal dengan nama sebutan tentara Tartar) untuk menghukum Singasari yang sudah berganti raja itu. Dyah Wijaya bergabung dengan tentara pendatang tersebut sehingga ia dapat ikut menggempur Jayakatwang guna membalas dendam atas kematian mertunya. Setelah Jayakatwang berhasil dikalahkan, orang-orang Majapahit dan Madura berbalik haluan dan menyerang tentara Cina( Tartar ). Karena itu mereka tercerai-berai dan terpaksa melarikan diri ke jung-jung yang menunggu di pantai.
Mereka terpaksa kembali ke negaranya untuk kemudian menerima hukuman dari Khublai Khan sebab dianggap gagal melaksanakan tugas.5
Rangkaian peristiwa ini member peluang bagi Dyah Nararya Sanggrama Wijaya untuk menjadi penguasa negara baru yang kemudian dikenal dengan kerajaan Majapahit. Jadi pendirian Majapahit terjadi berkat usahanya sendiri dengan dibantu oleh orang-orang Madura.
Dengan demikian ia tidak mewarisi kerajaan itu dari kertanagara. Namun dengan tegas dikatakannya ia tidak memulai dinasti baru. Ia merasa dirinya sebagai penerus Wangsa Rajasa yang sempat terputus gara-gara perbuatan merusak Jayakatwang. Karena itu selama bertahta ia mengambil nama Abiseka atau nama penobatan kertarajasa Jayawardana.
Untuk membalas jasa-jasa adipati sumenep maka wiraraja oleh raja majapahit mula-mula diangkat sebagai pesungguhan ( semacam panglima
atau hulubalang raja). Tak lama kemudian ia dinobatkan sebagai raja bawahan di Lumajang. Para penggantinya di wilayah sumenep selalu berpindah keraton sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Tempat-tempat yang pernah menjadi ibu kota keadipatian adalah Banasare ( Rubaru ), Aenganyar ( Bluto ), Keles ( Ambunten ),
Bu-Kabu ( Luk Guluk
) dan Lapataman ( Dungkek ).
Menunrut cerita yang berkembnag di masyarakat Sumenep, bahwa penyebar agama Islam di Sumenep adalah Sayyid Ahmad Baidhawi atau di kenal dengan pangeran Katandur. Ia bersyiar pada masa pemerintahan pangeran Lor dan pangeran
Wetan atau sekitar tahun 1550-an. Kuburannya berada di desa Bangkal sebelah timur kota Sumenep dan dikenal dengan Asta Sabu. Sebelum itu sekitar tahun 1440-an ada ulama penyebar agama Islam yang bernama Raden Bendara Dwiryapadha dan dikenal dengan nama sunan Paddusan. Namun lebih awal dari masa itu, yakni pada masa pemerintahan Panembahan Joharsari pada tahun 1330-an.6
Cerita panjang yang lain tentang Islam di sumenep tertulis dalam Sejarah Dalem,
yang kemungkinan dikutip dari silsilah raja Jawa-Madura yang lebih tua. Dalam cerita tersebut muncul adipati Kanduruwan yang konon masih putera Raja Demak, yang menjadi pegawai Ratu Mas Kumambang, ratu Putri ( Prabu Kenya ) di Japan ( Majapahit ). Atas perintah tuan putrinya, adipati Kamduruwan menyerang Sumenep. Pertempuran berlangsung seru di wilayah Lenteng Sumenep. Dalam pertempuran itu adipati Sumenep yang bernama Arya Winabaya gugur di medan
tersebut, dan setelah meniggal di sebut pangeran Siding Puri7. Kuburan Pangeran Siding Puri pun sudah dalam bentuk kuburan Islam.
Sayyid Ali Murtadla atau Suanan Lembayung Fadal juga dikenal dengan sebutan ratu pandito bertempat di pulau Sepudi, pedukuhannya dinamakan Asta Nyamplong, karena disekitar tempat tersebut bnayak ditumbuhi pohon Nyamplung ( Callophylum ) beliau dikenal juga sebagai penyebar agama Islam di Sumenep yang di
selaraskan dengan penyebaran agama Islam oleh Wali Songo di pulau Jawa. Karena beliau adalah adik dari Sunan Ampel yang menmpunyai nama asli Raden Rahmat.8
H.J. Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Jakarta: Grafitipress 1986
Jakarta: Balai Pustaka 1977
Mien A. Rifai, Lintasan Sejarah Madura, Surabaya: Yayasan Lebbur Legga 1993
R. Werdisatra dan R. Sastra Widjaja, Bhabhad Songennep, Balai Poestaka1921
S. Kartodirdjo,
M.D
Poesponegoro
dan N Notosusanto, Sejarah
Nasional
Indonesia II,
Sejarah Sumenep, disusun oleh Tim Penulis Sejarah Sumenep dalam makalah disampaikan
pada
seminar buku Penulisan Sejarah Sumenep yang diselelnggarakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep pada hari Rabu, 10 Desember 2003 bertempat di Pendopo Agung