Prilaku
yang terbentuk dalam masyarakat kadang kali kita pahami sebagai bentuk
representasi dari warisan nenek moyang ataupun leluhur kita, dalam hal ini
budaya masyarakat Kangean khususnya yang dulu dikenal akan kepemilikan nilai
kesenian yang tinggi (seperti pangka’ ajhing, Gendheng Dumi’, dll), masyarakat
bersahaja, nilai solidaritas yang tinggi (gotong royong, rukun), merupakan
sifat yang tertanam pada setiap pola kehidupan masyarakat, hal tersebut juga
tidak terlepas dari fungsi nilai agama yang mempengaruhi dan mengikat
nilai-nilai yang lain
Itu
mungkin sekilas dari penggalan narasi klasik yang pernah kita dengarkan dari
kake’-kake’ atau embah-embah kita dulu, terlepas dari cara pandang kita
sekarang terhadap realitas kondisi masyarakat Kangean yang lebih moderen, ada
hal yang patut kita ketahui bersama yaitu adanya berbagai aspek yang mendasari
dan membentuk karakter dalam tatanan masyarakat Kangean moderen. Salah satunya
adalah proses moderenisasi yang berakibat Masuknya budaya luar tak terbendung
(tak terkontrol) dan mampu mengubah pola pikir masyarakat ke arah yang dianggap
lebih rasional. Di sisi lain benturan moderenitas dengan budaya awam masyarakat
(kuno) pelak tidak bisa kita hindari, dimana hal tersebut akan berujung pada
pencarian kekuatan masing-masing untuk menciptakan karakter masyarakat yang
lebih dominan.
Berkaca
pada realitas kehidupan masyarakat Kangean saat ini, dampak dari modernisasi
telah mengantarkan masyarakat pada tahap akan kesadaran berkompetisi disegala
bidang bisa kita lihat misalnya kemajuan di sektor pendidikan dengan naiknya
prosentase mahasiswa yang melanjutkan studi di Jawa dan luar Jawa setiap tahunnya
mengalami peningkatan yang cukup signifikan, meminjam istilah Habermas inilah
yang mungkin disebut dengan dampak modernisasi sosial
Moderenisme
juga berpengaruh pada meningkatnya pola hidup (life style) masyrakat Kangean
yang lambat-laun telah menggiring pada pola hidup masyarakat konsumerianisme
ataupun hedonisme, contoh kecil yang bisa kita amati dalam kehidupan
sehari-hari dari segi berbusana, rok mini yang digandrungi anak-anak wanita
muda bahkan kaum wanita tua, telah menggeser busana khas tebbe'(khas busana
wanita), musik Ghemelan, Pangka’ sebagai bentuk hiburan masyarakat dulu (kuno)
yang menjadi simbol kearifan budaya leluhur, lambat laun juga telah tergeser
oleh hiburan dangdut misalnya yang dianggap lebih mewakili kehidupan modern.
Munculnya
Alienasi Baru
Mengutip
dari pendapat Hannah Arend, fase terakhir akibat munculnya modernitas salah
satunya akan berdampak pada tercerabutnya petani dari tanah mereka. Padahal
dalam konteks masyarakat Kangean menjadi nelayan dan bertani merupakan salah
satu bentuk mata pencaharian yang sangat potensial mengingat kekayaan laut
serta kesuburan tanah yang dimilikinya. Dulunya mata pencaharian tersebut mampu
mendominasi terhadap mata pencaharian yang lain tetapi secara perlahan-lahan
pula mulai ditinggalkan masyarakat dengan alasan yang logis, lagi-lagi masalah
biaya produksi (dana) dan keterbatasan sarana (alat produksi) yang tidak
berimbang terhadap penghasilan, menjadi dalih bagi mereka untuk lebih senang
menjadi kelas pekerja bergaji di tempat lain.
Hal
di atas akibat dari kerasnya persaingan hidup dan kebutuhan ekonomi sehari-hari
dan dengan pertimbangan akan kemajuan dan perkembangan yang lebih progresif
dalam menyikapi persaingan modern, alasan ini semakin mengokohkan niat mereka
untuk meniggalkan mata pencaharian semula (menjadi nelayan dan petani). Inilah
yang dimaksud oleh Arendt dengan istilah alienasi (pengasingan diri,
penyitaan), sebagai dampak buruk modernisme yang ujung-ujungya mengeleminasi
budaya masyarakat mereka sendiri. Ironisnya, pemerintah daerah bersifat apatis
dalam menyikapi fenomena di atas, hal ini bisa kita amati sampai saat ini,
fenomena tersebut tidak mendapatkan sorotan bahkan tindakan penanganan guna
mencari problem solving dari pemerintah daerah dan peran sebagai pemfilter budaya
asing belum pula terlihat, sekalipun masyrakat secara pribadi yang lebih berhak
dalam menentukan terhadap prilaku budaya mereka meskipun nantinya ada
sanksi-sanksi secara khusus yang mengaturnya.
Akulturasi
Budaya
Di
akhir oret-oretan ini perlu dipahami bersama, bahwa disatu sisi kita tidak akan
menafikan dari kemunculan sebuah moderenisme yang mampu menciptakan masyarakat
yang lebih produktif dan inovatif dalam mencari sebuah identitas masing-masing.
Tetapi, harapannya akan menjadi kebanggaan kita bersama bahwa, dalam proses
interaksi budaya luhur kita dengan budaya luar tadi (modern), mampu menjelmakan
budaya sintetik yang amat serasi, seperti halnya bisa kita pelajari dari akar
sejarah terbentuknya masyarakat Kangean, yang merupakan hasil dari akulturasi
budaya Jawa (rama), Madura (eppa’), Bugis (daeng), dan lain-lian, nyatanya
mampu membentuk budaya dan tatanan masarakat lokal dengan nilai solidaritas
yang tinggi dan demokratis.
Penggalian
dan pemahaman akan kearifan budaya local di atas perlu kita warisi bersama
sekalipun kita telah berada pada jaman moderen, tentunya dengan menanamkan dan
mengusung sebuah idealisme yang tinggi dari penerus (Pemuda Kangean). Hal ini
merupakan salah satu bentuk solusi alternatif yang perlu ditanamkan sejak dini.
Dan harapannya kedepan Kangean yang beridentitas (dengan kekhasannya) semakin
akan kita cintai dan miliki layaknya sebagai kepemilikan properti privat kita
bersama.
Wallu
A’lam Bishowab
Label:
artikel, budaya, dokumentasi, kangean, lutsfi siswanto
e-mail:
kabharmadhura@gmail.com baca, ada 0 Komentar disini
Pangkak,
Tradisi Masyarakat Kangean
Kabupaten
Sumenep terletak di ujung timur Pulau Madura, secara administrasi terdiri atas
25 kecamatan yang terbagi dalam 17 kecamatan daratan dan 8 kecamatan kepulauan,
letak geografis yang demikian ini ternyata mampu memunculkan potensi-potensi
seni dari kondisi sosial budaya yang beraneka ragam.
Ke
arah timur +/- 99 mil laut dari kota Sumenep terdapat sebuah pulau yang
berjarak yaitu Pulau Kangean. Pulau ini dapat ditempuh dengan menggunakan kapal
7 jam perjalanan. Pusat kegiatan administrasi laut atau perahu mesin
pemerintahan di pulau ini adalah di Kecamatan Arjasa, dimana di tempat ini
salah satu potensi budaya tumbuh, berkembang, memasyarakat, dan menarik sebagai
suatu kekhasan seni budaya di Kabupaten Sumenep, yaitu Upacara Adat “Pangkak”
yang terdapat di Desa Kalikatak.
Upacara
adat ini berawal dari sebuah tradisi unik masyarakat Pulau Kangean. Yang
biasanya mengadakan acara panen (menuai padi) bersama, dengan tujuan sebagai
rasa syukur masyarakat dan pemupuk rasa kebersamaan.
Upacara
ini dikemas dengan memadukan ritual keagamaan, kesenian, dan aktivitas
masyarakat setempat dalam keseharian. Upacara Pangkak bukanlah upacara besar
sebagai mana upacara-upacara ritual yang dilakukan masyarakat Sumenep pada
umumnya. Namun upacara ini, lebih menonjolkan sifatnya yang sederhana, unik,
kebersamaan, dan jauh berbeda dengan upacara yang kita kenal (misalnya NYADAR),
upacara Pangkak sangat jauh dari hal-hal yang berbau mistis.
Karena
sifatnya yang kedaerahan dan sangat sederhana, upacara Pangkak sendiri kurang
mendapat perhatian dan sorotan dari masyarakat maupun dari pemerintah Sumenep.
Tak ayal jika keluar sedikit dari kawasan Kangean, Pangkak menjadi sebuah nama
yang asing bagi para pendengarnya. Meskipun demikian yang tak boleh dilupakan
adalah bahwa Pangkak merupakan salah satu tradisi peninggalan yang dapat
menunjukan suatu identitas social kehidupan dari masyarakat Pulau Kangean,
sehingga tidak berlebihan kiranya jika bukan hanya masyarakat Pulau Kangean
saja yang menjaga identitas tersebut, namun kita secara bersama-sama saling
menyelamatkan upacara adat yang hampir punah ini.